1. Defrag harddisk secara berkala. Fungsi defrag adalah untuk menata dan mengurutkan file-file harddisk berdasarkan jenis file/data sedemikian rupa sehingga akan mempermudah proses read/write sehingga beban kerja akan lebih ringan yg akhirnya dapat memperpanjang umur harddisk. Caranya klik menu Start > Program > Accesories > System Tool > Disk Defragmenter Saat menjalankan fungsi ini tidak boleh ada program lain yg berjalan termasuk screensaver karena akan mengacaukan fungsi defrag ini.
2. Aktifkan screensaver Selain bersifat estetis, screensaver mempunyai fungsi lain yg penting. Monitor CRT juga televisi menggunakan fosfor untuk menampilkan gambar. Kalau monitor menampilkan gambar yg sama untuk beberapa saat maka ada fosfor yang menyala terus menerus. Hal ini dapat mengakibatkan monitor bermasalah yaitu gambar menjadi redup/kurang jelas. Lain halnya jika monitor Anda adalah LCD, LED yg sudah dilengkapi dengan energy saving, maka screensaver tidak terlalu dibutuhkan lagi.Cara+ mengaktifkan screensaver dapat dilakukan dengan banyak cara, salah satunya klik Start > Control Panel > Display > klik tab screensaver, kemudian pilih sesuai selera Anda.
3. Ventilasi yang cukup Tempatkan monitor maupun CPU sedemikian rupa sehingga ventilasi udara dari dan ke monitor / CPU cukup lancar. Ventilasi yg kurang baik akan menyebabkan panas berlebihan sehingga komponen/rangkaian elektronik di dalamnya akan menjadi cepat panas sehingga dapat memperpendek umur komponen tsb. Oleh karena itu usahakan jarak antara monitor/CPU dengan dinding/tembok minimal 30 cm. Kalau perlu pasang kipas angin di dalam ruangan.
4. Pakailah UPS atau stavolt. Pakailah UPS untuk mengantisipasi listrik mati secara tiba-tiba yg dapat mengakibatkan kerusakan pada harddisk. Kalau terpaksa tidak ada UPS, pakailah Stavolt untuk mengantisipasi naik turunnya tegangan listrik.
5. Tutup / close program yg tidak berguna Setiap program yg diload atau dijalankan membutuhkan memory (RAM) sehingga semakin banyak program yg dijalankan semakin banyak memory yg tersita. Hal ini selain dapat menyebabkan komputer berjalan lambat (lelet) juga beban kerja menjadi lebih berat yg akhirnya dapat memperpendek umur komponen/komputer.
6. Install program antivirus dan update secara berkala Untuk dapat mengenali virus/trojan2 baru sebaiknya update program antivirus secara berkala. Virus yg terlanjur menyebar di komputer dapat membuat Anda menginstall ulang komputer. Hal ini selain membutuhkan biaya juga akan menyebabkan harddisk Anda akan lebih cepat rusak dibanding apabila tidak sering diinstall ulang.
7. Bersihkan Recycle Bin secara rutin Sebenarnya file/folder yg kita hapus tidak langsung hilang dari harddisk karena akan ditampung dahulu di Recycle Bin ini dengan maksud agar suatu saat apabila Anda masih membutuhkannya dapat mengembalikan lagi. Recycle Bin yg sudah banyak juga akan menyita ruang harddisk yg dapat menyebabkan pembacaan harddisk jadi lelet.Caranya jalankan Windows Explorer > klik Recycle Bin > klik File > klik Empty Recyle BinAtau Anda dapat menjalankan fungsi Disk Cleanup Caranya Klik Start > Program > Accessories > System Tool > Disk Cleanup > kemudian pilih drive yg mau dibersihkan > setelah itu centangilah opsi Recycle Bin kalau perlu centangi juga yg lain (seperti temporary file, temporary internet file), setelah klik OK.
8. Jangan meletakkan Speacker Active terlalu dekat dengan monitor Karena medan magnet yang ada pada speacker tersebut akan mempengaruhi monitor yaitu warna monitor menjadi tidak rata atau belang-belang.
9. Uninstall atau buang program yg tidak berguna Ruang harddisk yg terlalu banyak tersita akan memperlambat proses read/write harddisk sehingga beban kerjanya akan lebih berat sehingga harddisk akan cepat rusak.
10. Bersihkan motherboard & periferal lain dari debu secara berkala Setidaknya enam bulan sekali hal ini harus dilakukan. Buka casingnya terlebih dahulu kemudian bersihkan motherboard dan periferal lain (RAM, Video Card, Modem, Sound Card, CDR/CDRW/DVRW, TV Tuner) dengan sikat halus. Pada saat komputer tidak digunakan tutuplah komputer (monitor, CPU, keyboard/mouse) dengan cover sehingga debu tidak mudah masuk ke dalam komputer.
17 Desember 2008
21 November 2008
Sejenak bijak

The important thing is this: To be able at any moment to sacrifice what we are for what we could become.
Charles du Bois
There are only two ways to live your life. One is as though nothing is a miracle. The other is as though everything is a miracle.
Albert Einstein
We realize that what we are accomplishing is a drop in the ocean. But if this drop were not in the ocean, it would be missed.
Mother Theresa
Bekerja adalah suatu kehormatan bagi manusia. Panggilan bekerja merupakan panggilan mendasar manusia untuk hidup dalam kodrat manusiawi. Manusia menjadi sungguh-sungguh kodrati dan sesuai dengan panggilannya, jika hidup diupayakan dan diusahakan sedemikian rupa sesuai dengan nilai kodrati manusia.
Manusia menjadi berharga ketika dia bekerja, kerja menuntut totalitas dari kepenuhan aktivitas yang ada dalam berbagai cara dan kinerja untuk makin membuat panggilan dalam hidup manusia menjadi berakar dan penuh sesuai dengan panggilan yang dimilikinya.
PRASANGKA

Suatu hari di musim dingin, saat selesai membuat kue, si ibu tersadar melihat keranjang penjaja kuenya sudah rusak berat. Dia pun keluar rumah untuk membeli keranjang baru dan berpesan kepada putrinya agar menunggu saja di rumah. Pulang dari membeli keranjang, si ibu menemukan pintu rumah tidak terkunci dan putrinya tidak ada di rumah. Spontan amarahnya memuncak. Putri betul-betul tidak tahu diri! Cuaca dingin seperti ini, disuruh diam di rumah sebentar saja malahan pergi bermain dengan teman-temannya!
Setelah selesai menyusun kue di keranjang, si ibu segera pergi untuk menjajakan kuenya. Dinginnya salju yang memenuhi jalanan tidak menyurutkan tekadnya demi kehidupan mereka. Dan sebagai hukuman untuk si putri, pintu rumah di kuncinya dari luar. "Kali ini Putri harus diberi pelajaran karena telah melanggar pesan," geram si ibu dalam hati.
Sepulang dari menjajakan kue, mata si ibu mendadak nanar saat menemukan gadis kecilnya tergeletak di depan pintu. Dengan berteriak histeris segera dipeluknya tubuh putrinya yang telah kaku karena kedinginan. Dengan susah payah dipindahkannyalah tubuh putri ke dalam rumah.
"Putri...Putri...Putri..., bangun, Nak! Ini ibu, Nak! Bangun, Nak! Ibu tidak marah kok. Bangun Putri anakku!" Serunya sambil menangis merung-raung dan berusaha sekuat tenaga membangunkan dengan menguncang-guncangkan tubuh si putri agar terbangun. Tetapi putri tidak bereaksi sama sekali.
Tiba-tiba terjatuh dari genggaman tangan si putri sebuah bungkusan kecil. Saat dibuka, ternyata di dalamnya berisi sebungkus kecil biskuit dan secarik kertas usang. Dengan tergesa-gesa dan tangan yang gemetar hebat, si ibu segera mengenali tulisan putrinya yang masih berantakan tetapi terbaca jelas.
"Ibuku tersayang, Ibu pasti lupa hari istimewa Ibu ya. Hi... hi... hi..., ini Putri belikan biskuit kesukaan ibu. Maaf Bu, uang putri tidak cukup untuk membeli yang besar dan maaf lagi Putri telah melanggar pesan Ibu karena meninggalkan rumah untuk membeli biskuit ini. Selamat ulang tahun, Bu. Putri selalu sayang, Ibu!" Dan meledaklah tangis sang ibu.
Prasangka sering mendatangkan petaka adalah kalimat yang cocok dengan kisah tadi dan penyesalan biasanya datang menyusul di belakang itu. Begitu banyak masalah dan problem di dunia ini muncul karena prasangka negatif maka butuh kedewasaan dalam mengendalikan pikiran agar kebiasaan berprasangka tidak kita layani begitu saja dan sedapat mungkin kita hilangkan. Kita ganti dengan berfikir positif sekaligus hati-hati dengan demikian memungkinkan hubungan kita dengan orang lain akan menjadi harmonis dan membahagiakan.
13 November 2008
Bukti Seseorang Mencintaimu

1.Seseorang yang mencintai kamu, tidak bisa memberikan alasan mengapa, ia mencintaimu. Dia hanya tahu, dimata dia, kamulah satu satunya…
2. Seseorang yang mencintai kamu, sebenarnya selalu membuatmu marah /gila /jengkel / stres. Tapi ia tidak pernah tahu hal bodoh apa yang sudah ia lakukan, karena semua yang ia lakukan adalah untuk kebaikanmu…
3. Seseorang yang mencintai kamu, jarang memujimu, tetapi di dalam hatinya kamu adalah yang terbaik, hanya ia yang tahu…
4. Seseorang yang mencintai kamu, akan marah-marah atau mengeluh jika kamu tidak membalas pesannya atau telp-nya, karena ia peduli dan ia tidak ingin sesuatu terjadi ke kamu...
5. Seseorang yang mencintai kamu, hanya menjatuhkan airmatanya dihadapanmu. Ketika kamu mencoba untuk menghapus air matanya, kamu telah menyentuh hatinya, dimana hatinya selalu berdegup / berdenyut /bergetar untuk kamu…
6. Seseorang yang mencintai kamu, akan mengingat setiap kata yg kamu ucapkan, bahkan yang tidak sengaja dan ia akan selalu menggunakan kata2 itu tepat waktunya...
7. Seseorang yang mencintai kamu, tidak akan memberikan janji apapun dengan mudah, karena ia tidak mau mengingkari janjinya. Ia ingin kamu untuk mempercayainya dan ia ingin memberikan hidup yang paling bahagia dan aman selama-lamanya…
8. Seseorang yang mencintai kamu, mungkin tidak bisa mengingat kejadian/ kesempatan istimewa, seperti perayaan hari ulang tahunmu, tapi ia tahu bahwa setiap detik yang ia lalui, ia mencintai kamu, tidak peduli hari apakah hari ini…
9. Seseorang yang mencintai kamu, tidak mau berkata Aku mencintaimu dengan mudah, karena segalanya yang ia lakukan untuk kamu adalah untuk menunjukkan bahwa ia siap mencintaimu, tetapi hanya ia yg akan mengatakan kata "I LOVE U" pada situasi yang spesial, karena ia tidak mau kamu salah mengerti, dia mau kamu mengetahui bahwa ia mencintai dirimu…
10. Seseorang yang benar2 mencintai kamu, akan merasa bahwa sesuatu harus dikatakan sekali saja, karena ia berpikir bahwa kamu telah mengerti dirinya. Jika berkata terlalu banyak, ia akan merasa bahwa tidak ada yang akan membuatnya bahagia / tersenyum…
11. Seseorang yang mencintai kamu, akan pergi ke airport untuk menjemput kamu, dia tidak akan membawa seikat mawar dan memanggilmu sayang seperti yang kamu harapkan. Tetapi, ia akan membawakan kopermu dan menanyakan : Mengapa kamu menjadi lebih kurus dalam waktu 2 hari ?Dengan hatinya yang tulus.
12. Seseorang yang mencintai kamu, tidak tahu apakah ia harus menelponmu ketika kamu marah, tetapi ia akan mengirimkan pesan setelah beberapa jam. Jika kamu menanyakan : mengapa ia telat menelepon, ia akan berkata : Ketika kamu marah, penjelasan dari dirinya semua hanyalah sampah. Tetapi, ketika kamu sudah tenang, penjelasannya baru akan benar2 bekerja / manjur / berguna...
13. Seseorang yang mencintaimu, akan selalu menyimpan semua benda2 yang telah kamu berikan, bahkan kertas kecil bertuliskan 'I LOVE U' ada didalam dompetnya...
12.Seseorang yang mencintaimu, jarang mengatakan kata2 manis. Tapi kamu tahu, 'kecupannya' sudah menyalurkan semua. Seseorang yang mencintai kamu, akan selalu berusaha membuat mu tersenyum dan tertawa walau terkadang caranya membingungkanmu ...
Seseorang yang mencintaimu, akan membalut hatimu yang pernah terluka dan menjaganya dengan setulus hati agar tidak terluka lagi dan ia akan memberikanmu yang terbaik walau harus menyakiti hatinya sendiri…
Seseorang yang mencintaimu, akan rela melepaskanmu pergi bila bersamanya kamu tidak bahagia dan ia akan ikut bahagia walau kamu yang dicintainya bahagia bersama orang lain.
12 November 2008
Gereja di Zaman Absolutisme(Ancient Régime)
Gereja di Zaman Absolutisme(Ancient Régime)
Situasi Gereja pada zaman absolutisme (abad XVI-XVIII) :
Gereja mendominasi lingkungan, struktur sosial, undang-undang, dan adat kebiasaan masyarakat. Tatanan masyarakat diinspirasikan oleh Gereja.
Hal itu dapat dijelaskan dengan adanya kontrol negara terhadap Gereja (negara tidak mau diutak-atik bentuk masyarakat yang tidak diinspirasikan oleh Gereja).
Gereja sendiri mengalami ‘dekadensi’ karena semangat keduniawian yang dimiliki oleh para klerus.
Absolutisme sendiri memiliki ciri-ciri umum:
1. Secara politis
Sikap penguasa: menyatakan diri bebas dan luput dari otoritas lain (di luar kekuasaannya) dan membuat sentralisasi kekuasaan terhadap pihak di dalam kekuasaannya. Raja yang berkuasa menentukan segala-galanya tanpa kritik dan kontrol.
2. Secara sosial
Ada kesenjangan dalam kelompok masyarakat. Previlegi terhadap kelompok-kelompok masyarakat tertentu membedakan golongan bangsawan, militer, dan rakyat biasa.
Dalam keadaan yang demikian, Gereja, yang memiliki previlegi juga, ‘kemunculan’ absolutisme karena prinsipnya untuk menyejajarkan secara sempurna tata politik bernegara dengan tata religius Kristen: Yang diatur Gereja itulah yang harus diterapkan dalam tata sipil (dengan pengecualian yang sangat langka). Keadaan ini memiliki implikasi:
1. Hak ilahi raja
Absolutisme mengambil dasar teoritis kekuasaannya dari reduksi otoritas keagamaan ke dalam kekuasaan sipil. Raja memiliki kewenangan sebagai wakil Allah; kekuasaannya langsung diberikan dari Tuhan. Rakyat hanya dituntut untuk menjadi taat secara buta kepada raja karena raja memiliki martabat yang transenden, yang lebih penting daripada hidup warga negaranya sendiri.
2. Kesatuan politis didasarkan pada kesatuan agama.
Situasi keragaman agama dalam negara tidak lagi dimungkinkan. Mereka yang tidak memeluk agama yang dominan akan mengalami penyempitan dalam pemenuhan hak politik dan sipilnya.
3. Agama Katolik adalah agama negara.
Dominasi agama Katoliklah yang akhirnya dilegitimasi sebagai agama satu-satunya yang benar. Gereja dinyatakan sebagai masyarakat berdaulat meskipun ada batas-batas tertentu. Hal ini mencampuradukkan kepentingan agama dan negara sehingga tahta dan altar saling berhubungan.
4. Karena kesatuan itu, raja menganggap agama harus dipertahankan dan dimajukan.
Penguasa berusaha menciptakan dan mempertahankan struktur yang mendukung warga untuk melakukan kewajiban agama; membela agama sambil menghalangi proselitisme bidaah; tindakan melawan agama dianggap menghina kekayaan spiritual bangsa, melawan raja, wakil Tuhan.
5. Hukum sipil menjadi selaras dengan hukum kanonik.
Negara mengakui hukum Gereja dan memungutnya sebagai hukum negara (perkawinan misalnya).
6. Gereja menggunakan kekuatan negara.
Tugas hirarki untuk menjaga keutuhan iman dan moral dilakukan dengan menggunakan kekuatan otoritas dan sarana yang diberikan negara. Negara menjadi ‘polisi’ khusus bagi Gereja.
7. Organisasi kerja Kristen.
Para pekerja diwajibkan membentuk koorporasi untuk menjamin tata hidup sesuai dengan religiositas Kristen.
8. Monopoli karya dan instruksi Gereja diakui.
Sampai abad XVIII pendidikan hanya ditangani oleh tarekat dan biara-biara.
9. Imunitas dan problem relatif.
Gereja menikmati imunitas (imunitas real–bebas pajak; imunitas lokal–menjadi tempat berlindung; imunitas pribadi–klerus bebas wamil); luput dari undang-undang yang berlaku pada umumnya. Imunitas ini menimbulkan masalah sterilitas para klerus. Previlegi yang diterima Gereja justru membuat jurang antara Gereja dan negara. Jurang itu sendiri muncul karena keras kepalanya PAUS PAULUS V untuk mempertahankan kekuasaannya di Eropa tanpa menyesuaikan diri dengan situasi dan tuntutan yang baru, kelahiran negara-negara baru dan kedaulatan mereka.
Yurisdiksionalisme
Prinsip Dasariah dan Pelaksanaannya
Dari implikasi-implikasi itu dapat dilihat bahwa negara yang memberikan dukungan kepada Gereja, pada akhirnya memasukkan kontrol ketatnya dalam intervensi dalam Gereja. Dukungan negara berlangsung selama abad XVII, sementara subordinasi Gereja terjadi pada abad XVIII. Ada beberapa hak negara yang berkaitan dengan Gereja yang penting:
1. Ius advocationis et protectionis
hak menjamin Gereja (bersih dari heresi dan skisma)
2. Ius reformandi
hak bangsawan membenahi organisasi dan aktivitas kegerejaan
3. Ius inspiciendi atau ius supremae inspectionis
Negara membatasi kebebasan dalam hubungan entitas lokal gereja dan tahta suci, memeriksa, mengawasi aktivitas kegerejaan.
4. Ius nominandi
hak negara untuk menominasi uskup, abbas dan fungsionaris Gereja
5. Ius exclusivae
hak yang berkuasa untuk mengecualikan orang yang tidak layak dari tugas yang telah ditentukan
6. Ius placeti et exequatur
Hak-hak ini menekan tindakan Gereja supaya ternyata Gereja tidak melawan otoritas negara. Penguasa tidak melepaskannya dan Roma dipaksa menerima kenyataan itu.
7. Ius circa temporalia officii
Dengan ini negara memiliki kuasa untuk menyita harta klerus jika tidak setia pada monarki (lebih setia pada Paus).
8. Ius appelationis
Dengan ini imam atau jemaat dapat meminta bantuan negara untuk melawan otoritas kegerejaan.
9. Ius dominii eminentis
Hak negara menarik pajak atas harta Gereja dan mengadministrasikannya selama sedes vacante
10.Ius patronatus
hak negara dan juga beberapa keluarga untuk menominasi abbas, rektor-rektor gereja dan rumah-rumah biara sebagai pelindung
Gereja yang Dibebani Infiltrasi Duniawi
Ada beberapa aspek POSITIF yang dimunculkan oleh previlegi Gereja dan Yurisdiksionalisme negara:
1. Khususnya di Italia, berkembang dengan subur adorasi pada Sakramen Mahakudus (bahkan sepanjang minggu); yang lebih umum: devosi kepada Maria (bulan Mei dan Oktober).
2. Muncul tokoh-tokoh para kudus (AVILLA, YOHANES dari SALIB, PAULUS dari SALIB, dll).
3. Berkembang lembaga-lembaga hidup bakti yang baru (indikasi kesuburan Gereja).
4. Muncul juga tokoh-tokoh seniman Kristiani (LOPEZ DE VEGA, CALDERON DE LA BARCA, PALESTRINA, dll).
5. Devosi kepada Hati Kudus Yesus berkembang dengan semangat baru (ALACOQUE, CLAUDIUS DE LA COLOMBIÈRE).
6. Gereja menjadi poros yang menjiwai kehidupan sehari-hari. Muncul pengkotbah ulung (BOURDALOUE, FENELON, BALDINUCCI, PAULUS dari SALIB, ALFONSUS DE LIGOURI, dll).
Aspek negatifnya:
1. Masyarakat terbagi dalam dua kasta: minoritas yang berprevilegi (khususnya sejak abad XVIII diiringi dengan hidup amoral) dan mayoritas yang miskin dan sengsara.
2. Gereja yang dibebani harta, tumpul dalam mengemban misi spiritualnya (karena beberapa pihak berprivilegi).
3. Gereja cenderung menerapkan otoritasnya dalam mengatur banyak bidang kehidupan jemaat (misalnya kartu kontrol peribadatan – sanksi, kasus Galileo).
4. Muncul ‘religiositas populer’ (kuantitas massa yang hadir dalam perayaan sakramen tertentu tidak diimbangi dengan ungkapan kedalaman makna, tetapi artifisial dan superfisial).
Revolusi Perancis
Revolusi ini de facto telah menghancurkan sebagian besar struktur ekonomi-politik-sosial ancient régime. Revolusi ini juga telah menebarkan dasar-dasar masyarakat yang baru. Masyarakat ini telah berusaha mewujudkan prinsip-prinsip ideal tetapi ternyata pelaksanaannya (abad XVIII) berjalan sangat lambat. Previlegi diganti dengan kesamaan. Otoritas mutlak penguasa disingkirkan dan diganti dengan kedaulatan rakyat dan kebebasan.
Aspek-aspek POSITIF Revolusi Perancis dapat dilihat dari prinsip-prinsip yang dicetuskan pada 4 Agustus 1789 (yang didahului oleh deklarasi Revolusi Amerika 4 Juli 1776):
1. Prinsip kesamaan dan kesetaraan (egalité)
Sebelum 4 Agustus 1789 Dewan Legislatif telah membuat dekrit tentang dicabutnya hak-hak serta previlegi-previlegi feodalistis yang dinikmati bangsawan. Prinsip kesamaan ini beraplikasi luas: pajak ditiadakan karena dimanfaatkan bangsawan, diskriminasi sosial diakhiri, kebangsawanan tidak diakui, imunitas klerus juga ditiadakan; praktik administrasi juga didasarkan pada prinsip kesamaan, pengadilan lokal yang otonom dihapus, diganti dengan tiga instansi yang berafiliasi pada kekuasaan pusat–kelak disempurnakan oleh NAPOLEON.
2. Prinsip kebebasan
Artikel 4 Deklarasi tahun 1789 memberikan batasan kebebasan: kekuasaan/kemampuan untuk melakukan segala sesuatu yang tidak merugikan orang lain. Kebebasan hanya memiliki satu keterbatasan: hormat pada kebebasan yang sama yang dimiliki oleh orang lain. Prinsip ini berlaku dalam bidang politik; hak ilahi raja diganti dengan kedaulatan rakyat. Dari prinsip ini lahirlah kesadaran rakyat sebagai warga negara. “Demi rahmat Allah” diganti menjadi “Demi kehendak bangsa”. Raja itu memerintah, tidak memimpin. Secara perlahan terjadi peralihan dari monarki konstitusional ke monarki parlementer (mentri bertanggungjawab pada parlemen yang dipercaya oleh wakil rakyat). Deklarasi ini juga memberi jaminan kepada rakyat untuk mempertahankan diri di hadapan penilaian eksekutif (art. 7); mengakui kebebasan berpendapat dan kebebasan pers (art. 10 dan 11), juga kebebasan beragama (art. 10).
Aspek-aspek negatif Revolusi Perancis dapat dimengerti sebagai bentuk ketidakseimbangan perjuangan. Revolusi yang berusaha menghancurkan suatu regim berprevilegi tidak selalu berhasil menghormati aspek-aspek lain. Para pemrakarsa deklarasi melupakan sejumlah hambatan tata ekonomi dan sosial yang membelenggu kesamaan dan kebebasan warga negara. Hambatan-hambatan itu mengebiri perkembangan pribagi manusia yang utuh.
1. Dari prinsip kesamaan berkembanglah individualisme
Untuk mempertahankan kesamaan dan kebebasan setiap warga, negara menghapus asosiasi profesional. LE CHAPELIER, seorang wakil rakyat, menegaskan bahwa saat itu setiap warga negara mengurus dirinya sendiri. Korporasi ditiadakan; perlindungan bagi kaum lemah belum dipikirkan.
2. Mitos kesamaan dan kebebasan tidak hanya merugikan kelompok lemah, tetapi juga membuat otoritas negara menghadapi krisis baru (laikalisme, sekularisme yang menjurus ke antiklerikalisme).
3. Terjadi konflik terbuka antara masyarakat ancient régime dan masyarakat liberal.
Kelompok ancient régime mengacu pada kekristenan, nilai-nilai injili; kelompok liberal mempertahankan nilai-nilai otentik, yang mau mengerti lebih baik martabat manusia, tetapi sekaligus melahirkan krisis (liberalisme).
4. Kekayaan dan kekuasaan temporal yang dimiliki Gereja hilang (pengaruh sampai ke Jerman yang menerapkan politik sekularisasi, 1803-1804). Berkat revolusi ini Gereja dieksklusikan dari kekuasaan politik.
Penelanjangan kekuasaan politik Gereja memang menimbulkan kerugian, tetapi apakah memang sungguh-sungguh kerugian atau justru blessing in disguise?
Situasi Gereja pada zaman absolutisme (abad XVI-XVIII) :
Gereja mendominasi lingkungan, struktur sosial, undang-undang, dan adat kebiasaan masyarakat. Tatanan masyarakat diinspirasikan oleh Gereja.
Hal itu dapat dijelaskan dengan adanya kontrol negara terhadap Gereja (negara tidak mau diutak-atik bentuk masyarakat yang tidak diinspirasikan oleh Gereja).
Gereja sendiri mengalami ‘dekadensi’ karena semangat keduniawian yang dimiliki oleh para klerus.
Absolutisme sendiri memiliki ciri-ciri umum:
1. Secara politis
Sikap penguasa: menyatakan diri bebas dan luput dari otoritas lain (di luar kekuasaannya) dan membuat sentralisasi kekuasaan terhadap pihak di dalam kekuasaannya. Raja yang berkuasa menentukan segala-galanya tanpa kritik dan kontrol.
2. Secara sosial
Ada kesenjangan dalam kelompok masyarakat. Previlegi terhadap kelompok-kelompok masyarakat tertentu membedakan golongan bangsawan, militer, dan rakyat biasa.
Dalam keadaan yang demikian, Gereja, yang memiliki previlegi juga, ‘kemunculan’ absolutisme karena prinsipnya untuk menyejajarkan secara sempurna tata politik bernegara dengan tata religius Kristen: Yang diatur Gereja itulah yang harus diterapkan dalam tata sipil (dengan pengecualian yang sangat langka). Keadaan ini memiliki implikasi:
1. Hak ilahi raja
Absolutisme mengambil dasar teoritis kekuasaannya dari reduksi otoritas keagamaan ke dalam kekuasaan sipil. Raja memiliki kewenangan sebagai wakil Allah; kekuasaannya langsung diberikan dari Tuhan. Rakyat hanya dituntut untuk menjadi taat secara buta kepada raja karena raja memiliki martabat yang transenden, yang lebih penting daripada hidup warga negaranya sendiri.
2. Kesatuan politis didasarkan pada kesatuan agama.
Situasi keragaman agama dalam negara tidak lagi dimungkinkan. Mereka yang tidak memeluk agama yang dominan akan mengalami penyempitan dalam pemenuhan hak politik dan sipilnya.
3. Agama Katolik adalah agama negara.
Dominasi agama Katoliklah yang akhirnya dilegitimasi sebagai agama satu-satunya yang benar. Gereja dinyatakan sebagai masyarakat berdaulat meskipun ada batas-batas tertentu. Hal ini mencampuradukkan kepentingan agama dan negara sehingga tahta dan altar saling berhubungan.
4. Karena kesatuan itu, raja menganggap agama harus dipertahankan dan dimajukan.
Penguasa berusaha menciptakan dan mempertahankan struktur yang mendukung warga untuk melakukan kewajiban agama; membela agama sambil menghalangi proselitisme bidaah; tindakan melawan agama dianggap menghina kekayaan spiritual bangsa, melawan raja, wakil Tuhan.
5. Hukum sipil menjadi selaras dengan hukum kanonik.
Negara mengakui hukum Gereja dan memungutnya sebagai hukum negara (perkawinan misalnya).
6. Gereja menggunakan kekuatan negara.
Tugas hirarki untuk menjaga keutuhan iman dan moral dilakukan dengan menggunakan kekuatan otoritas dan sarana yang diberikan negara. Negara menjadi ‘polisi’ khusus bagi Gereja.
7. Organisasi kerja Kristen.
Para pekerja diwajibkan membentuk koorporasi untuk menjamin tata hidup sesuai dengan religiositas Kristen.
8. Monopoli karya dan instruksi Gereja diakui.
Sampai abad XVIII pendidikan hanya ditangani oleh tarekat dan biara-biara.
9. Imunitas dan problem relatif.
Gereja menikmati imunitas (imunitas real–bebas pajak; imunitas lokal–menjadi tempat berlindung; imunitas pribadi–klerus bebas wamil); luput dari undang-undang yang berlaku pada umumnya. Imunitas ini menimbulkan masalah sterilitas para klerus. Previlegi yang diterima Gereja justru membuat jurang antara Gereja dan negara. Jurang itu sendiri muncul karena keras kepalanya PAUS PAULUS V untuk mempertahankan kekuasaannya di Eropa tanpa menyesuaikan diri dengan situasi dan tuntutan yang baru, kelahiran negara-negara baru dan kedaulatan mereka.
Yurisdiksionalisme
Prinsip Dasariah dan Pelaksanaannya
Dari implikasi-implikasi itu dapat dilihat bahwa negara yang memberikan dukungan kepada Gereja, pada akhirnya memasukkan kontrol ketatnya dalam intervensi dalam Gereja. Dukungan negara berlangsung selama abad XVII, sementara subordinasi Gereja terjadi pada abad XVIII. Ada beberapa hak negara yang berkaitan dengan Gereja yang penting:
1. Ius advocationis et protectionis
hak menjamin Gereja (bersih dari heresi dan skisma)
2. Ius reformandi
hak bangsawan membenahi organisasi dan aktivitas kegerejaan
3. Ius inspiciendi atau ius supremae inspectionis
Negara membatasi kebebasan dalam hubungan entitas lokal gereja dan tahta suci, memeriksa, mengawasi aktivitas kegerejaan.
4. Ius nominandi
hak negara untuk menominasi uskup, abbas dan fungsionaris Gereja
5. Ius exclusivae
hak yang berkuasa untuk mengecualikan orang yang tidak layak dari tugas yang telah ditentukan
6. Ius placeti et exequatur
Hak-hak ini menekan tindakan Gereja supaya ternyata Gereja tidak melawan otoritas negara. Penguasa tidak melepaskannya dan Roma dipaksa menerima kenyataan itu.
7. Ius circa temporalia officii
Dengan ini negara memiliki kuasa untuk menyita harta klerus jika tidak setia pada monarki (lebih setia pada Paus).
8. Ius appelationis
Dengan ini imam atau jemaat dapat meminta bantuan negara untuk melawan otoritas kegerejaan.
9. Ius dominii eminentis
Hak negara menarik pajak atas harta Gereja dan mengadministrasikannya selama sedes vacante
10.Ius patronatus
hak negara dan juga beberapa keluarga untuk menominasi abbas, rektor-rektor gereja dan rumah-rumah biara sebagai pelindung
Gereja yang Dibebani Infiltrasi Duniawi
Ada beberapa aspek POSITIF yang dimunculkan oleh previlegi Gereja dan Yurisdiksionalisme negara:
1. Khususnya di Italia, berkembang dengan subur adorasi pada Sakramen Mahakudus (bahkan sepanjang minggu); yang lebih umum: devosi kepada Maria (bulan Mei dan Oktober).
2. Muncul tokoh-tokoh para kudus (AVILLA, YOHANES dari SALIB, PAULUS dari SALIB, dll).
3. Berkembang lembaga-lembaga hidup bakti yang baru (indikasi kesuburan Gereja).
4. Muncul juga tokoh-tokoh seniman Kristiani (LOPEZ DE VEGA, CALDERON DE LA BARCA, PALESTRINA, dll).
5. Devosi kepada Hati Kudus Yesus berkembang dengan semangat baru (ALACOQUE, CLAUDIUS DE LA COLOMBIÈRE).
6. Gereja menjadi poros yang menjiwai kehidupan sehari-hari. Muncul pengkotbah ulung (BOURDALOUE, FENELON, BALDINUCCI, PAULUS dari SALIB, ALFONSUS DE LIGOURI, dll).
Aspek negatifnya:
1. Masyarakat terbagi dalam dua kasta: minoritas yang berprevilegi (khususnya sejak abad XVIII diiringi dengan hidup amoral) dan mayoritas yang miskin dan sengsara.
2. Gereja yang dibebani harta, tumpul dalam mengemban misi spiritualnya (karena beberapa pihak berprivilegi).
3. Gereja cenderung menerapkan otoritasnya dalam mengatur banyak bidang kehidupan jemaat (misalnya kartu kontrol peribadatan – sanksi, kasus Galileo).
4. Muncul ‘religiositas populer’ (kuantitas massa yang hadir dalam perayaan sakramen tertentu tidak diimbangi dengan ungkapan kedalaman makna, tetapi artifisial dan superfisial).
Revolusi Perancis
Revolusi ini de facto telah menghancurkan sebagian besar struktur ekonomi-politik-sosial ancient régime. Revolusi ini juga telah menebarkan dasar-dasar masyarakat yang baru. Masyarakat ini telah berusaha mewujudkan prinsip-prinsip ideal tetapi ternyata pelaksanaannya (abad XVIII) berjalan sangat lambat. Previlegi diganti dengan kesamaan. Otoritas mutlak penguasa disingkirkan dan diganti dengan kedaulatan rakyat dan kebebasan.
Aspek-aspek POSITIF Revolusi Perancis dapat dilihat dari prinsip-prinsip yang dicetuskan pada 4 Agustus 1789 (yang didahului oleh deklarasi Revolusi Amerika 4 Juli 1776):
1. Prinsip kesamaan dan kesetaraan (egalité)
Sebelum 4 Agustus 1789 Dewan Legislatif telah membuat dekrit tentang dicabutnya hak-hak serta previlegi-previlegi feodalistis yang dinikmati bangsawan. Prinsip kesamaan ini beraplikasi luas: pajak ditiadakan karena dimanfaatkan bangsawan, diskriminasi sosial diakhiri, kebangsawanan tidak diakui, imunitas klerus juga ditiadakan; praktik administrasi juga didasarkan pada prinsip kesamaan, pengadilan lokal yang otonom dihapus, diganti dengan tiga instansi yang berafiliasi pada kekuasaan pusat–kelak disempurnakan oleh NAPOLEON.
2. Prinsip kebebasan
Artikel 4 Deklarasi tahun 1789 memberikan batasan kebebasan: kekuasaan/kemampuan untuk melakukan segala sesuatu yang tidak merugikan orang lain. Kebebasan hanya memiliki satu keterbatasan: hormat pada kebebasan yang sama yang dimiliki oleh orang lain. Prinsip ini berlaku dalam bidang politik; hak ilahi raja diganti dengan kedaulatan rakyat. Dari prinsip ini lahirlah kesadaran rakyat sebagai warga negara. “Demi rahmat Allah” diganti menjadi “Demi kehendak bangsa”. Raja itu memerintah, tidak memimpin. Secara perlahan terjadi peralihan dari monarki konstitusional ke monarki parlementer (mentri bertanggungjawab pada parlemen yang dipercaya oleh wakil rakyat). Deklarasi ini juga memberi jaminan kepada rakyat untuk mempertahankan diri di hadapan penilaian eksekutif (art. 7); mengakui kebebasan berpendapat dan kebebasan pers (art. 10 dan 11), juga kebebasan beragama (art. 10).
Aspek-aspek negatif Revolusi Perancis dapat dimengerti sebagai bentuk ketidakseimbangan perjuangan. Revolusi yang berusaha menghancurkan suatu regim berprevilegi tidak selalu berhasil menghormati aspek-aspek lain. Para pemrakarsa deklarasi melupakan sejumlah hambatan tata ekonomi dan sosial yang membelenggu kesamaan dan kebebasan warga negara. Hambatan-hambatan itu mengebiri perkembangan pribagi manusia yang utuh.
1. Dari prinsip kesamaan berkembanglah individualisme
Untuk mempertahankan kesamaan dan kebebasan setiap warga, negara menghapus asosiasi profesional. LE CHAPELIER, seorang wakil rakyat, menegaskan bahwa saat itu setiap warga negara mengurus dirinya sendiri. Korporasi ditiadakan; perlindungan bagi kaum lemah belum dipikirkan.
2. Mitos kesamaan dan kebebasan tidak hanya merugikan kelompok lemah, tetapi juga membuat otoritas negara menghadapi krisis baru (laikalisme, sekularisme yang menjurus ke antiklerikalisme).
3. Terjadi konflik terbuka antara masyarakat ancient régime dan masyarakat liberal.
Kelompok ancient régime mengacu pada kekristenan, nilai-nilai injili; kelompok liberal mempertahankan nilai-nilai otentik, yang mau mengerti lebih baik martabat manusia, tetapi sekaligus melahirkan krisis (liberalisme).
4. Kekayaan dan kekuasaan temporal yang dimiliki Gereja hilang (pengaruh sampai ke Jerman yang menerapkan politik sekularisasi, 1803-1804). Berkat revolusi ini Gereja dieksklusikan dari kekuasaan politik.
Penelanjangan kekuasaan politik Gereja memang menimbulkan kerugian, tetapi apakah memang sungguh-sungguh kerugian atau justru blessing in disguise?
Instruksi Dignitas Connubii
Martabat Mempelai (Instruksi Dignitas Connubii)
16 Oktober 2008 13:51
Rm D. Gusti Bagus Kusumawanta, Pr
16 Oktober 2008 13:51
Rm D. Gusti Bagus Kusumawanta, Pr
Membantu Tribunal
Pada tgl 25 Januari 2005, di Roma telah diterbitkan Instrusksi Dignitas Connubii (martabat mempelai) sebuah instruksi tentang norma-norma yang harus dijalankan di tiap-tiap Tribunal dalam memroses anulasi perkawinan Gereja.
Instruksi ini disusun oleh Dewan Kepausan untuk teks legislatif dalam kerjasama dengan Kongregasi Doktrin iman , Kongregasi Sakramen dan Ibadat Ilagi, Tribunal kepausan Rota Romana dan Segnatura Apostolik.
Maksud sederhana yang ingin dicapai dari Instruksi Dignitas Connubii ini adalah memberikan kepada para pelayan keadilan (fungsionaris tribunal keuskupan), suatu dokumen praktis, semacam vademecum yang menjadi pegangan bagi mereka agar melaksanakan tugas secara lebih baik dalam memroses secara kanonik dari nulitas perkawinan. Instruksi ini merupakan pengulangan instruski provida mater (1936) dengan penambahan beberapa gagasan seperti Tribunal Gereja Katolik Latin dapat memroses anulasi perkawinan Gereja ritus Timur (art. 16). Instruksi Dignitas Connubii dipublikasikan tepat 22 tahun sesudah promulgasi KHK 1983, bukan untuk membandingkan dengan kodeks melainkan untuk mengumpulkan dan memudahkan konsultasi dan aplikasinya bagi pelayan keadilan. Selain dari pada itu instruksi ini untuk mengintegrasikan perkembangan yuridis yang terjadi dalam periode sesudah promulgasi kodeks 1983.
Sebagaimana lazim tejadi, instruksi ini tidak hanya mengulang teks kanon-kanon tetapi juga memuat interprestasi, penjelasan dari apa yang ditetapkan hukum dan tindak lanjut pelaksanaannya. Dokumen ini juga oleh Takhta Suci untuk melaksanakan misi universalnya berkaitan dengan administrasi keadilan di seluruh Gereja khususnya Gereja ritus Latin.
Mencermati alasan proses kanonik nulitas perkawinan
Instruksi ini menekankan perlunya mengajukan persoalan validitas atau nulitas dari perkawinan seseorang umat beriman yang meminta keadilan. Praksis peradilan Gereja melalui Tribunal adalah jalan negatif (via negativa), maka sangat dianjurkan agar Tribunal tidak mudah menerima perkara melainkan pertama mengutamakan jalan positif (via positiva) melalui pendekatan pastoral untuk rujuk kembali.
Tidak semua perkara yang diakibatkan oleh pertengkaran suami-isteri menjadi pokok sengketa proses anulasi perkawinan. Jalan positif hendaknya dilakukan secara proaktif oleh pastor Paroki. Tribunal adalah tempat jalan terakhir bagi orang yang berperkara karena jalan positif sudah tidak bisa mengatasi persoalan.
Alasan lain yang perlu dicermati adalah menyerahkan persoalan yuridis ini kepada pengadilan sipil sementara Gereja menutup diri terhadap persoalan umatnya. Sebaliknya dengan instruksi ini Gereja menegaskan lagi kompetensinya menangani kasus-kasus, karena padanya terpancang eksistensi perkawinan yang sakral. Jika kita tidak terlibat dalam persoalan ini maka sama artinya kita mengaburkan kesucian sakramental perkawinan Gereja. Malahan mungkin sulit untuk dipahami di zaman yang ditandai oleh materialisme-hedonisme masa kini, dimana terjadi kebingungan tentang identitas kodrati perkawinan dan keluarga, undang-undang sipil memudahkan perceraian. Lebih celaka lagi kalau undang-undang sipil meragukan gambaran yang seharusnya tentang heteroseksualitas perkawinan dan lebih longgar menerima perkawinan sesama jenis. Gereja akan semakin terpojok dan mau tidak mau harus bersikap dan bertindak menyelamatkan kodrat dan ke sakralan perkawinan Gereja.
Perlu dicermati pula, alasan proses nulitas perkawinan yakni perkawinan dipandang sebagai urusan pribadi (personal) dan eksklusif sehingga validitas ditentukan oleh pribadi mempelai. Hal itu membawa efek yuridis bahwa mereka dapat leluasa melihat perkawinan sebagai kontrak dan mudah membuat kontrak baru.
Perlu diketahui oleh fungsionaris Tribunal dan umat beriman bahwa ikatan perkawinan bukan hanya soal keputusan personal manusiawi belaka melainkan menyangkut kedua mempelai dan anak-anak yang lahir daripadanya, masyarakat sipil dan Gereja.
Dengan demikian perkawinan sejalan dengan keyakinan yang berakar dalam kebudayaan masyarakat yang adalah suatu realitas publik. Oleh karena itu, mereka yang melakukan perkawinan tidak bisa menyatakan nulitasnya sendiri. Sebaliknya yang penting adalah kepastian sah dari kebenaran obyektif mengenai validitas atau nulitas suatu perkawinan.
Persoalan dasar: kebaikan (bonum) tujuan dari perkawinan
Melalui upaya-upaya personal dan sarana-sarana yang terarah kepada bidang pastoral ini, Gereja hendak memberikan kontribusinya yang positif untuk mencapai tujuan penting yang menjadi sentrum dari pontifikat Paus Johanes Paulus II yakni kebaikan perkawinan dan keluarga.
Dalam Familiaris Consortio yang ditulisnya ditegaskan bahwa mutlak perlu komitmen Gereja, umat beriman dan semua kehendak baik untuk melindungi dan mempromosikan perkawinan dan keluarga dalam konteks historis saat ini. Tekanan hedonisme, mementingkan diri sendiri dan menempatkan segala sesuatu di bawah kepuasan diri merupakan tantangan pastoral yang berbahaya untuk masa kini.
Sering orang lupa bahwa penting sekali kesetiaan pada komitmen, cinta dan keadilan yang dari kodratnya mencakup seluruh hidup: penyerahan diri timbal balik suami isteri yang terarah kepada pembentukan keluarga yang terbuka kepada hidup dan bahwa hanya kematian saja yang memutuskannya (bdk. Kan. 1141).
Dalam konteks mentalitas perceraian, proses anulasi kanonik dapat dengan mudah disalahpami sebagai suatu cara mendapatkan perceraian yang disahkan oleh Gereja. Padahal perceraian berbeda dengan pembatalan (anulasi). Tidak semua perkawinan yang gagal bisa dianulasi. Paus setiap kalu dalam amanat tahunan kepada Rota Romana sering menegaskan pemahaman yang benar dari nulitas perkawinan yang tak terpisahkan dari penelitian atas kebenaran.
Pernyataan nulitas bukanlah suatu dissolusi dari ikatan perkawinan tetapi suatu observasi, atas nama Gereja, tentang ketiadaan perkawinan yang benar sejak permulaan. Karena itu, mutlak perlu untuk menemukan kembali martabat perkawinan dalam dimensi-dimensi baik kodrati kemanusiaan dan keselamatan dalam Kristus.
Kepastian moral dan penyelidikan obyektif
Kepastian moral yang dimaksudkan dalam hal ini adalah status pikiran, keyakinan dan kesetiaan hakim pada kebenaran yang nyata dan terbukti dalam peradilan. Kepastian moral bukan cuma subyektif yang berlandaskan pada pendapat pribadi melainkan secara obyektif berdasarkan pada kenyataan atau hal-hal yang sudah dijalankan dan terbukti dalam proses (bdk. Pasal 247 #3).
Pasal yang sama dalam instruksi tersebut menegaskan bahwa untuk menyatakan batal suatu perkawinan diperlukan kepastian moral dalam diri hakim (bdk. Pasal 247, §1). Oleh karena itu, hanya atas dasar ketelitian dan ketajaman dapat menguji bukti-bukti yang diajukan dalam perkara perkawinan seperti pernyataan pihak yang berperkara, dokumen-dokumen, para saksi (bdk. Kan. 193-202), pendapat ahli dan presumsi-presumsi, hakim dapat mencapai kepastian moral tentang perkara yang dipersoalkan sampai menjatuhkan atau mengeluarkan dekret konfirmatif.
Jika hakim sulit mendapatkan pembuktian penuh, hakim harus melengkapinya dengan saksi-sakasi yang menguatkan kredibilitas dan kejujuran pihak yang berperkara berkaitan dengan nulitas perkawinan mereka selain indikasi-indikasi dan bantuan-bantuan lain (bdk. Pasal 180, §2), sampai pada kepastian moral.
Dalam tegangan antara pencarian kebenaran obyektif yang menjadi tujuan dan alasan proses dan keadilan yang diperkuat oleh equitas (bdk. Kan 221, §2), menjadi sarana untuk mencapai tujuan ini, instruksi mengambil bentuk tradisi prosedural kanonik sambil tetap mempertahankan prinsip dari pengadilan tingkat kedua atau banding (bdk. Pasal 263-289) dan putusan ganda yang menguatkan (bdk. Pasal 290-294)
Meningkatkan kesungguhan kerja dan kecepatan
Di beberapa keuskupan regio Jawa, Nusra dan keuskupan lain, telah terbentuk tribunal perkawinan. Instruksi Dignitas Connubii penting untuk dipelajari dan diterapkan di masing-masing keuskupan dalam rangka meningkatkan kesungguhan kerja dan kecepatan dalam pelayanan (Bahan ini telah dibahas dalam pertemuan para kanonis regio Nusra di Weetabula 2008).
Tidaklah baik jika sudah ada Tribunal dan fungsionarisnya hanya karena tidak ada kesungguhan lalu tidak menjalankan fungsi secara baik dalam kasus-kasus perkawinan. Berkaitan dengan itu Gereja hendak meretas jalan yang bijak yakni mempertahankan dan meningkatkan kesungguhan dan kecepatan dalam menangani perkara; memudahkan akses bagi yang berperkara dan membuat keputusan yang sama dalam prosedural anulasi perkawinan serta perangkatnya.
Tanpa kesungguhan dan kecepatan dalam menangani perkara, tribunal perkawinan tidak akan mendapat kepercayaan dari umat. Umat sudah sabar dan terus memohon keadilan sementara cara kerja tribunal kurang sigap dan lamban. Semoga instruksi Dignitas Connubii menjadi daya dongkrak untuk meningkatkan kinerja tribunal secara lebih baik dan profesional.
Pendidikan Politik Orang Muda Katolik

Perubahan ini diwarnai oleh situasi sosial politik yang tidak menentu terutama jika masyarakat membandingkan dengan masa Orde Baru yang terlihat tenang dan kurang terjadi permasalahan besar. Hal ini bisa terjadi karena tindakan represif penguasa dalam hampir setiap sendi kehidupan masyarakat dan tekanan untuk "membungkam" media massa agar tidak ada berita yang negatif mengenai pemerintah.
Sesuai dengan semangat reformasi untuk melakukan demokratisasi kehidupan bernegara maka masyarakat dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Pemilu di era reformasi tahun 1999, 2004 dan pemilihan kepala daerah merupakan usaha untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik meskipun kita dapat merasakan hasil pemilu dan pilkada tersebut sejauh ini belum berdampak optimal bagi kesejahteraan masyarakat.
Secara umum meningkatnya jumlah orang yang tidak memilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) seakan menjadi suatu kejadian biasa yang kita baca, dengar dan tonton melalui media massa. Terlebih masih besarnya kecenderungan orang muda Katolik (OMK) untuk menjauhi segala sesuatu yang berkaitan dengan politik.
Asumsi bahwa politik itu kotor, tidak penting, merugikan, dan memusingkan memberi jarak semakin lebar antara OMK dan panggilan untuk mewujudkan iman di tengah situasi konkret masyarakat di sekitarnya, tak terkecuali dalam bidang sosial politik (bdk. "PKPM" Unika Atma Jaya, 2004). Kondisi itu diperburuk dengan betapa membosankan dan monotonnya cara pembelajaran politik yang dilakukan oleh institusi pemerintah dan Gereja selama ini.
Banyak pengalaman pendampingan OMK menunjukkan betapa para pendamping serba tak mudah menyapa dan menggerakkan OMK untuk mengenal, mempelajari, dan berpartisipasi dalam bidang sosial politik. Bahkan dalam kegiatan-kegiatan Komisi Kepemudaan (Komkep) Keuskupan yang bertujuan mendekatkan pemikiran, olah rasa, dan perilaku OMK pada seluk-beluk kehidupan bidang sosial politik pun tak banyak OMK berminat menghadirinya.
Kondisi tersebut mungkin banyak terjadi pula dalam pastoral kemahasiswaan Katolik. Lantas, bagaimana menggulirkan pendidikan politik dalam pendampingan OMK dan mahasiswa Katolik sebagai gerakan bersama antara Komkep Keuskupan-Keuskupan dan Komkep KWI ?
Berdasarkan monitoring Komkep KWI selama ini, banyak Komkep Keuskupan yang berupaya menyiasati masalah tersebut dengan beragam model, bentuk, metode, dan kegiatan kreatif. Banyak Komkep Keuskupan menyadari bahwa titik berangkat pendampingan OMK adalah memahami kebutuhan, minat, dan permasalahan yang mereka alami sendiri. Oleh karena itu, bisa jadi banyak model, bentuk, metode, dan kegiatan pendidikan politik yang menurut persepsi para pendamping terhitung efektif, mau tak mau harus dirumuskan dan dikemas ulang agar selalu sesuai dengan kondisi kebutuhan, minat, dan permasalahan OMK yang mereka dampingi. Tanpa upaya "masuk dari pintu mereka" semacam ini, mustahil pendamping bisa mengajak OMK "keluar dari pintu kita".
Dalam rangka itu pulalah, Komkep KWI ingin lebih konkret melibatkan diri dalam pergumulan pendampingan OMK di Keuskupan-Keuskupan se-Indonesia dalam konteks situasi keprihatinan tersebut. Komkep KWI bersama sejumlah relawan OMK di Jakarta dan sekitarnya berinisiatif memikirkan dan menyusun sebuah paket bahan pendidikan politik OMK, lalu membagikannya kepada Komkep Keuskupan-Keuskupan se-Indonesia.
Bahan ini terdiri dari tiga bagian pokok. Bagian pertama berisi narasi dan modul sejumlah metode alternatif yang bisa dimanfaatkan untuk menyelenggarakan atau memproses program pendidikan politik OMK. Bagian kedua berisi narasi tentang pemanfaatan riset aksi partisipatoris (RAP) dalam pengelolaan program pendidikan politik OMK dan sejumlah modul penerapannya. Sedangkan bagian ketiga berisi uraian pembangunan database pendidikan politik OMK, khususnya yang berbasis atau memanfaatkan fasilitas website.
Sementara itu, perkara teoritis-informatif, mengenai prinsip-prinsip panggilan kerasulan awam Katolik dan pendidikan politik pada umumnya, sebagai penjaga arah bagi keterlibatan OMK dalam masyarakat tidak dibahas secara khusus dalam bahan ini, melainkan menjadi lampiran.
Keterangan buku:
Tebal : 110 halaman
Ukuran : 17 X 24 cm
Penerbit : Komisi Kepemudaan KWI
Th. Terbit : 2008
Editor : Felix Iwan Wijayanto
Pengantar : Y. Dwi Harsanto Pr
Sambutan : Mgr. Y. Harjosusanto MSF
Harga : Rp 15.000,-
Pemesanan : Komkep KWI
Jl Cikini II no 10 Jakpus
Telp : 21-31924487
Fax. : 21-31909804
Gereja Katholik
Kata “gereja” sebenarnya berasal dari kata “igraja” yang diperkenalkan di Indonesia oleh para misionaris Portugis. Kata “igraja” tersebut berasal dari kata Latin “ecclesia” yang pada awalnya berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu “ekklesia” yang artinya “kumpulan” atau “pertemuan”. Akan tetapi arti sesungguhnya dari “gereja” adalah umat yang dipanggil Tuhan. Didalam Kitab Suci Perjanjian Baru, ada tiga “nama” yang dipakai untuk menjelaskan tentang gereja, yaitu “Umat Allah”, “Tubuh Kristus” dan “Bait Roh Kudus” (1Kor 10:32, 11:17-22, 15:9). Ketiganya berkaitan erat satu dengan yang lainnya. Didalam Katekismus Gereja Katolik (“Catechims of The Catholic Church”) kata “gereja” dirumuskan sebagai “himpunan orang-orang yang ‘digerakkan untuk berkumpul’ oleh Firman Allah, yakni, berhimpun bersama untuk membentuk Umat Allah dan yang diberi santapan dengan Tubuh Kristus, menjadi Tubuh Kristus” (No. 777).
Kata “Katolik” berarti “univeral”, “memiliki sifat-sifat totalitas”> atau “utuh”. Dengan demikian Gereja Katolik adalah universal, dimana setiap orang telah dipanggil untuk membawa kabar sukacita Injil kepada setiap orang, kepada setiap bangsa, kepada setiap penjuru dunia. Sejarah Gereja Katolik berasal dari percakapan antara Tuhan Yesus dan Petrus. Yesus berkata,”Sebab itu ketahuilah, engkau Petrus, batu yang kuat. Dan diatas alas batu inilah aku akan membangun gereja-Ku, yang tidak dapat dikalahkan: sekalipun oleh maut!” (Mat 16:18) (“Thou art Peter [Greek for ‘rock’], and upon this rock I will build my church; and the gates of hell shall not prevail against it”).
Umat Katolik percaya bahwa Gereja Katolik adalah gereja yang dimaksudkan oleh Tuhan Yesus. Pusat gereja Katolik di dunia, gereja Santo Petrus Basilica (St. Peter’s Basilica) yang dibangun di Vatikan, adalah tempat dimana Santo Petrus dimakamkan. Saat ini, makam dari Santo Petrus berada di dalam tanah, persis dibawah altar utama di antara tiang-tiang penopang kubah Bernini. Menurut catatan Kitab Suci Perjanjian Baru pada jaman Yesus, Petrus adalah pribadi yang sangat menonjol diantara murid-muridNya yang lain. Setelah Yesus disalib, peran Petrus semakin penting didalam perkembangan para pengikut Yesus pada jaman awal tersebut.
Petrus diperkirakan lahir pada tahun 4 Sebelum Masehi, dan wafat antara tahun 64 atau 68 Setelah Masehi. Ia lahir di Bethasida, disisi Danau Galiela. Sebagai seorang nelayan, ia bersama dengan tiga rekannya yang lain menjadi murid-murid Yesus. Nama asalnya adalah Simon (atau Symeon) namun Yesus memberinya nama Petrus. Walaupun mungkin pendidikannya sangat terbatas (Kis 4:13) ia adalah tokoh yang sangat berperan didalam sejarah awal mula agama Katolik.
Sebelum Yesus wafat, Petrus adalah seorang yang keras kepala, emosinya seringkali tidak terkendali dan penuh keraguan. Tetapi setelah Yesus naik kesurga dan ia dipenuhi oleh Roh Kudus, Petrus menjadi sosok yang beriman dan tidak gentar sedikitpun dalam menghadapi berbagai rintangan dalam hidupnya. Menurut catatan ahli sejarah Eusebius (c.260-c.340) Santo Petrus wafat sebagai martir, pada sekitar tahun 64 Setelah Masehi yaitu pada jaman pemerintahan Kaisar Nero (54-68). Menurut catatan dari Origen (c.184-c.253) seorang ahli teologi, Santo Petrus dihukum dengan disalibkan secara terbalik, dengan tujuan agar ia tidak menyamai penyaliban Tuhan Yesus.
Gereja pada saat itu mencoba untuk berpusat di Roma – tempat yang merupakan pusat kegiatan sekuler sekaligus tempat wafatnya Santo Petrus. Setiap penerus dari Santo Petrus dikenal dengan nama “Uskup Roma” (“Bishop of Rome”) atau disebut “Paus” (“Pope”) pada saat itu. Pada saat Kerajaan Romawi terpecah menjadi dua, yaitu Bagian Barat dan Bagian Timur, ke-Kristenan merupakan agama dari kedua negara bagian, sehingga hanya figur Paus itulah yang diharapkan menjadi pemersatu agar tidak terjadi perpecahan yang lebih menghancurkan lagi. Agama Katolik terus berkembang keseluruh pelosok bumi hingga hari ini. Agama Katolik merupakan agama yang sangat berperan dalam peradaban manusia modern dan dalam penyampaian Injil ke berbagai bangsa di dunia.
Kata “Katolik” berarti “univeral”, “memiliki sifat-sifat totalitas”> atau “utuh”. Dengan demikian Gereja Katolik adalah universal, dimana setiap orang telah dipanggil untuk membawa kabar sukacita Injil kepada setiap orang, kepada setiap bangsa, kepada setiap penjuru dunia. Sejarah Gereja Katolik berasal dari percakapan antara Tuhan Yesus dan Petrus. Yesus berkata,”Sebab itu ketahuilah, engkau Petrus, batu yang kuat. Dan diatas alas batu inilah aku akan membangun gereja-Ku, yang tidak dapat dikalahkan: sekalipun oleh maut!” (Mat 16:18) (“Thou art Peter [Greek for ‘rock’], and upon this rock I will build my church; and the gates of hell shall not prevail against it”).
Umat Katolik percaya bahwa Gereja Katolik adalah gereja yang dimaksudkan oleh Tuhan Yesus. Pusat gereja Katolik di dunia, gereja Santo Petrus Basilica (St. Peter’s Basilica) yang dibangun di Vatikan, adalah tempat dimana Santo Petrus dimakamkan. Saat ini, makam dari Santo Petrus berada di dalam tanah, persis dibawah altar utama di antara tiang-tiang penopang kubah Bernini. Menurut catatan Kitab Suci Perjanjian Baru pada jaman Yesus, Petrus adalah pribadi yang sangat menonjol diantara murid-muridNya yang lain. Setelah Yesus disalib, peran Petrus semakin penting didalam perkembangan para pengikut Yesus pada jaman awal tersebut.
Petrus diperkirakan lahir pada tahun 4 Sebelum Masehi, dan wafat antara tahun 64 atau 68 Setelah Masehi. Ia lahir di Bethasida, disisi Danau Galiela. Sebagai seorang nelayan, ia bersama dengan tiga rekannya yang lain menjadi murid-murid Yesus. Nama asalnya adalah Simon (atau Symeon) namun Yesus memberinya nama Petrus. Walaupun mungkin pendidikannya sangat terbatas (Kis 4:13) ia adalah tokoh yang sangat berperan didalam sejarah awal mula agama Katolik.
Sebelum Yesus wafat, Petrus adalah seorang yang keras kepala, emosinya seringkali tidak terkendali dan penuh keraguan. Tetapi setelah Yesus naik kesurga dan ia dipenuhi oleh Roh Kudus, Petrus menjadi sosok yang beriman dan tidak gentar sedikitpun dalam menghadapi berbagai rintangan dalam hidupnya. Menurut catatan ahli sejarah Eusebius (c.260-c.340) Santo Petrus wafat sebagai martir, pada sekitar tahun 64 Setelah Masehi yaitu pada jaman pemerintahan Kaisar Nero (54-68). Menurut catatan dari Origen (c.184-c.253) seorang ahli teologi, Santo Petrus dihukum dengan disalibkan secara terbalik, dengan tujuan agar ia tidak menyamai penyaliban Tuhan Yesus.
Gereja pada saat itu mencoba untuk berpusat di Roma – tempat yang merupakan pusat kegiatan sekuler sekaligus tempat wafatnya Santo Petrus. Setiap penerus dari Santo Petrus dikenal dengan nama “Uskup Roma” (“Bishop of Rome”) atau disebut “Paus” (“Pope”) pada saat itu. Pada saat Kerajaan Romawi terpecah menjadi dua, yaitu Bagian Barat dan Bagian Timur, ke-Kristenan merupakan agama dari kedua negara bagian, sehingga hanya figur Paus itulah yang diharapkan menjadi pemersatu agar tidak terjadi perpecahan yang lebih menghancurkan lagi. Agama Katolik terus berkembang keseluruh pelosok bumi hingga hari ini. Agama Katolik merupakan agama yang sangat berperan dalam peradaban manusia modern dan dalam penyampaian Injil ke berbagai bangsa di dunia.
07 November 2008
Kita diciptakan dengan kapasitas untuk mengarahkan hidup kita pada tujuan akhir
Bahkan sebenarnya, Tuhan menciptakan manusia sedemikian rupa, sehingga manusia mempunyai kapasitas untuk mengarahkan hidupnya kepada tujuan akhir. Sadar atau tidak, kita mempunyai kapasitas untuk ini. Dengan kapasitas inilah, St. Agustinus berkata "Hatiku tidak akan tenang, sampai aku menemukan Engkau, ya Tuhan." Dan kapasitas ini bukan hanya milik beberapa orang saja, namun semua orang, karena pada dasarnya manusia adalah seorang filsuf. Pada saat kita mempertanyakan "apa itu hidup, apa tujuan kehidupan, apakah kebahagiaan, dll", maka kita dihadapkan kepada suatu permenungan akan "suatu awal dan tujuan akhir". Pada saat pertanyaan ini didiskusikan dengan Tuhan, maka ini adalah suatu wujud doa, karena Tuhan adalah awal dan akhir. Dialog ini akan menjadi doa seorang Kristen kalau berdasarkan wahyu Yesus Kristus. Dan ini akan menjadi doa seorang Katolik, kalau berdasarkan wahyu Yesus Kristus yang diteruskan dalam Tradisi Katolik dan ajaran Katolik yang mendasari doa tersebut, di mana doa mencapai puncaknya pada perayaan Ekaristi Kudus.
Tuhan adalah penggerak utama dalam doa
Kalau bagi St. Teresia doa adalah "ayunan hati", maka yang mengayun hati adalah Tuhan. Karena Tuhan sendiri yang menanti kita di dalam doa. Dikatakan bahwa manusia mencari Tuhan, namun Tuhan yang memanggil manusia terlebih dahulu. Bahkan doa sebenarnya adalah suatu anugerah dari Tuhan. Drama tentang doa ditunjukkan pada waktu Yesus menunggu di sumur dan kemudian bertemu dengan wanita Samaria (Yoh 4:1-26). Yesus yang menanti kita karena haus akan balasan kasih kita. Jadi kalau ada yang mengatakan bahwa Tuhan tidak campur tangan dalam kehidupan kita atau malah beranggapan bahwa Tuhan telah menakdirkan sesuatu yang tidak baik dalam kehidupan seseorang, maka anggapan ini adalah salah sekali. Bukan hanya dia "menjawab doa kita", bahkan Dia yang terlebih dahulu "menggerakkan hati kita untuk berdoa", karena Dia sudah menunggu kita di sumber air, di hati kita, di tempat di mana kita dapat bertemu dengan Tuhan.
Berdoa itu harus melibatkan hati
Dalam doa, akal budi (reason or intellect) dan keinginan hati (the will) harus bekerjasama untuk menerima dan mengalami kehadiran Tuhan. Kita mencoba menggunakan akal budi kita untuk berfikir tentang Tuhan dan dengan keinginan hati, kita mau untuk mengalami kehadiran Tuhan. Sebagai contoh, kita harus terlebih dahulu mengetahui tentang hukum Tuhan dan pelanggaran kita terhadap Tuhan, sebelum kita dapat mengalami pertobatan. Tidak mungkin kita mengalami pertobatan tanpa terlebih dahulu tahu bahwa apa yang kita lakukan adalah salah di mata Tuhan. Namun sebaliknya, hanya berfikir tentang Tuhan tidaklah cukup, namun kita harus memberikan hati kita kepada Tuhan di dalam doa. Kalau mau dikatakan, setanpun berfikir tentang Tuhan. Mereka punya pengetahuan tentang Tuhan dalam derajat tertentu, namun mereka tidak memberikan hati mereka kepada Tuhan. Katekismus Gereja Katolik menegaskan, memang benar bahwa keseluruhan diri manusia yang berdoa, namun terlebih lagi adalah hati yang berdoa. Sehingga dapat dikatakan bahwa jika hati kita jauh dari Tuhan, maka kata-kata di dalam doa adalah percuma. Disinilah perkataan St. Teresia menjadi begitu nyata dan benar: doa adalah ayunan hati.
Definisi doa menurut Santa Teresia dari kanak-kanak Yesus
Definisi doa menurut Santa Teresia dari kanak-kanak Yesus:
"Bagiku doa adalah ayunan hati, satu pandangan sederhana ke surga, satu seruan syukur dan cinta kasih di tengah percobaan dan di tengah kegembiraan"
31 Oktober 2008
Kalau Politik Menjadi Sakramen
Kalau Politik Menjadi Sakramen
Senin, 25 Agustus 2008 | 01:53 WIB
Oleh BUDI KLEDEN
Senin, 25 Agustus 2008 | 01:53 WIB
Oleh BUDI KLEDEN
Setelah Johann Baptist Metz, seorang teolog Jerman, pada tahun 1966 menggunakan kembali pengertian teologi politik untuk kerangka berpikirnya, muncul banyak suara kritis. Tidak sedikit yang menuduhnya sebagai seseorang yang hanya mencari popularitas dengan menggunakan sebuah pengertian yang kontroversial. Memang kontroversial, karena pengertian ini masih mengingatkan orang akan gagasan Carl Schmitt yang berciri integralistik.
Menghadapi sebuah buku dengan judul Sakramen Politik, dapat muncul reaksi yang sama. Apakah ini hanya untuk menimbulkan kontroversi? Seperti reaksi awal atas ungkapan Metz perlahan sirna setelah orang menyelami maksudnya, demikian pun yang terjadi dengan buku Sakramen Politik. Mempertanggungjawabkan Memoria karya Eddy Kristiyanto. Penyejajaran dengan teologi politik bukan hanya sebuah kebetulan. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa Sakramen Politik yang diperkenalkan di sini menggunakan teologi politik Metz sebagai landasan teologisnya yang dialihkan secara sangat setia.
Teologi politik bukan politisasi teologi
Di dalam pertemuan akbar para uskup Katolik sedunia dari tahun 1962 sampai 1965 (Konsili Vatikan II), Gereja Katolik menyatakan solidaritasnya dengan umat manusia yang sedang bergumul dengan berbagai persoalan dalam sejarah. Masyarakat dan sejarah menjadi bagian yang integral dari pendefinisian diri Gereja. Komunitas iman tidak lagi berdiri di samping masyarakat manusia, sejarah keselamatan bukanlah kisah yang lain dari sejarah perjuangan umat manusia. Yang utama bukan lagi Gereja, melainkan umat manusia yang serentak merupakan keluarga Allah. Gereja dibentuk karena keprihatinan universal Allah. Karena itu, Gereja memiliki legitimasi selama dan sejauh dia mengabdi umat manusia.
Sejalan dengan pikiran ini, JB Metz mengusung gagasan teologis yang disebutnya sebagai teologi politik. Teologi politik bermaksud memberikan pendasaran teologis bagi urgensi partisipasi Gereja dalam ruang publik. Kebenaran iman bukanlah sebuah persoalan doktrinal atau syahadat, melainkan kesanggupannya untuk mendorong inisiatif-inisiatif perubahan dalam masyarakat.
Metz menyebut dua peran teologi politik. Pertama adalah sebagai koreksi kritis terhadap tendensi privatisasi di dalam teologi sendiri. Koreksi ini didasarkan pada keyakinan bahwa pesan-pesan utama kekristenan seperti kebebasan, perdamaian, keadilan, dan rekonsiliasi tidak dapat dispiritualisasi dan direduksi ke dalam rasa aman yang dialami seseorang secara pribadi. Sebaliknya, pesan-pesan ini memiliki muatan politis yang mesti mendorong perubahan kondisi sosial.
Walaupun demikian, teologi politik tidak bermaksud menunjukkan satu identifikasi yang sempurna antara politik dan iman, antara Gereja dan Negara (hal 39). Identifikasi seperti itu disebut sebagai politisasi teologi, dengan teologi dimanfaatkan untuk melegitimasi segala pertimbangan dan keputusan politik. Akibatnya, politik menjadi sesuatu yang tak tersentuh. Aura kesakralan dipakai untuk menaungi program politik tertentu. Karena itu, peran kedua teologi politik mesti segera ditambahkan, yakni untuk menyingkapkan pesan eskatologis dari iman. Yang dimaksudkan dengan pesan eskatologis bukan terutama warta tentang surga, melainkan kemungkinan yang terbuka bagi dunia dan sejarah. Iman adalah intervensi ke dalam pengerasan ideologis yang memenjarakan manusia dalam berbagai kemiskinan, termasuk kemiskinan fantasi dan aksi politik. Dalam arti ini, iman memiliki daya subversif di tengah kemapanan yang mengerdilkan massa dan mengabsolutkan para penguasa.
Sakramen politik, sebuah fantasi teologis
Sejarah pemikiran teologis Kristen di Indonesia belum banyak menunjukkan orisinalitas permenungan sebagai ungkapan kreativitas dan fantasi teologis. Kiblat umum kekristenan ke dunia Barat dan kompleks minoritas yang menghantui tampaknya telah turut menciptakan kondisi ini. Syukur, di tengah kegersangan itu masih muncul sejumlah tokoh dengan gagasan yang kreatif dan relevan, antara lain, seperti yang diperkenalkan di dalam buku ini, JB Banawiratma, GP Sindhunata, St Darmawijaya, dan Frans Magnis-Suseno (hal 152-166).
Tanpa mengurangi nilai penting dari usaha untuk memperkenalkan teologi politik di Indonesia, hemat saya, kreativitas dan orisinalitas buku ini bukan terutama terletak pada gagasan sakramen politik. Gagasan itu sudah terungkap secara implisit dalam diskursus seputar teologi politik. Dalam uraiannya tentang teologi politik, Eddy Kristiyanto menyadur secara setia gagasan-gagasan Metz. Kedua peran teologi politik pada dasarnya menentukan ciri sakramental dari politik. Di satu pihak, politik adalah tanda dan sarana yang mengantar manusia kepada pembebasan dan penyelamatan. Tuhan dialami dan dapat dipercayai di dalam pemahaman dan pengamalan politik yang bertanggung jawab. Namun, pada pihak lain politik sebagai sakramen tidak pernah dapat diidentikkan secara penuh dan menyeluruh dengan Tuhan. Tuhan hadir di dalam politik sebagai sakramen, tetapi Dia tidak dikurung di dalam politik. Pesan eskatologis mengingatkan distansi dan distingsi yang penting ini.
Bobot khusus ini terletak terutama pada kesanggupannya menempatkan tema ini dalam konteks sejarah Gereja universal dan kiprah Gereja Indonesia. Sebagai sebuah kumpulan sejumlah tulisan, buku ini memang tidak berhasil menampilkan satu pembagian tema yang ketat. Sejumlah pengulangan tidak bisa dihindari. Kendati demikian, dalam garis besarnya alur argumentasi keseluruhan buku ini berhasil menunjukkan intensi dasarnya serentak memprofilasi bobot istimewanya.
Memoria dan kejelasan bahasa
Sebagai sebuah refleksi teologi politik, buku ini tidak dimulai dengan kebenaran dogmatis dan wahyu. Eddy Kristiyanto membuka refleksinya dengan memaparkan sejumlah landasan ideologis dan teoretis. Di sini diperkenalkan konsep Walter Benjamin tentang waktu sebagai basis untuk memoria. Uraian ini kemudian dilengkapi dengan perkenalan umum atas teologi politik dan model kepedulian Gereja terhadap situasi sosial di Eropa pada abad ke-19, yang harus mulai menghadapi akibat dari kapitalisme.
Pada bagian kedua yang diberi judul ”Landasan Historis dan Teologis” dibicarakan secara berturut-turut ’Sakramen Politik’, ’Teologi yang Melibat’, ’Perempuan dalam Diskursus Sosial’, ’Reposisi Hubungan Agama dan Negara’. Bagian ini diakhiri dengan sebuah pemaparan menarik mengenai biografi teologis empat pemikir Katolik di Indonesia. Memerhatikan judul buku ini, maka perhatian pembaca pasti terpaut pada tulisan pertama dalam bagian ini. Yang diharapkan adalah sebuah pemaparan yang mendalam mengenai teologi sakramen sebagai basis untuk berbicara mengenai politik sebagai sakramen. Penajaman pemahaman mengenai sakramen yang sanggup menjernihkan konsep ini dari berbagai pengertian dan penghayatan yang melenceng diperlukan agar orang memiliki konsep yang lebih pasti mengenai sakramen politik. Kebutuhan ini ternyata kurang dipenuhi karena yang dibaca pada bagian ini adalah sebuah ulangan umum mengenai teologi politik.
Mengakhiri refleksinya, ahli sejarah Gereja ini berusaha masuk ke dalam sejarah kiprah Gereja di medan politik, dari khazanah sejarah Gereja universal dan dari perjuangan Gereja di Indonesia. Bagi saya, yang paling menarik dari bagian ini adalah tulisan keempat yang diberi judul ”Kebebasan dan Keindonesiaan”. Dengan bahasa yang lugas, penulis menguraikan sejumlah permasalahan yang dialami dalam kehidupan beragama di Indonesia. Kebebasan yang sesungguhnya dikerangkeng, baik oleh kekurangpekaan mayoritas maupun oleh hantu ketakutan kaum minoritas. Dengan kesadaran diri sebagai seorang intelektual dan dalam tanggung jawab penuh sebagai warga negara, penulis membongkar kompleksitas minoritas yang sering menjadi sebab pembahasaan yang kurang jelas. Bahasa yang kurang jelas sering mengaburkan ingatan. Karena itu, mempertanggungjawabkan memoria haruslah dilakukan dengan bahasa yang terang untuk menunjukkan borok yang telah mewarnai sejarah kebebasan manusia beragama di Indonesia.
Pemberhalaan politik dan kekuasaan
Mengakhiri kata pengantarnya yang memberi bobot khusus pada buku ini, Ignas Kleden berbicara tentang ciri sakramental Gereja. Ini sebuah ajaran resmi yang dirumuskan dalam Konsili Vatikan II. Jika kita mengenakan ciri sakramental ini pada semua agama, konsekuensinya jelas, sebagaimana ditulis Ignas Kleden, ”Kalau yang menjadi urusan utama dalam agama adalah hubungan manusia dengan sesamanya, dan hubungan manusia dengan apa yang diyakininya sebagai Tuhan, maka tujuan akhir setiap agama adalah membawa kemuliaan Tuhan dan keselamatan bagi manusia” (hal vliii).
Hal yang sama mesti dikatakan ketika kita berbicara mengenai politik sebagai sakramen. Politik, dalam arti luas sebagai komitmen terhadap penyelenggaraan kehidupan bersama, adalah jalan dan sarana untuk menghadirkan keselamatan yang diwartakan dan dirayakan dalam agama-agama. Karena itu, politik bukanlah sesuatu yang kotor dan harus dielakkan, sebagaimana diingatkan J Kristiadi dalam postkripnya. Sebaliknya, politik mesti dipahami dan dihayati sebagai medan, dalamnya orang menunjukkan dirinya sebagai orang beriman. Namun, politik justru akan dikotorkan dan menjadi momok kalau politik hanya dilihat sebagai tujuan dalam dirinya sendiri. Ketika politik diidentifikasi dengan Tuhan, maka yang terjadi adalah kesewenang-wenangan yang menyengsarakan masyarakat dan menghancurkan citra politik. Pemberhalaan politik, apalagi pemberhalaan kekuasaan, adalah awal segala kecurangan!
Budi Kleden Dosen Teologi di STFK Ledalero, Flores
SUMBER
RUU PORNORAFI DAN PORNOAKSI
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PORNOGRAFI
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.
2.Jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya.
3.Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
4.Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.
5.Pemerintah adalah Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
6.Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Pasal 2
Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebhinnekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara.
Pasal 3
Pengaturan pornografi bertujuan:
a.mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan;
b.memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat;
c.memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan perempuan; dan
d.mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat.
BAB II
LARANGAN DAN PEMBATASAN
Pasal 4
(1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang memuat:2.Jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya.
3.Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
4.Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.
5.Pemerintah adalah Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
6.Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Pasal 2
Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebhinnekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara.
Pasal 3
Pengaturan pornografi bertujuan:
a.mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan;
b.memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat;
c.memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan perempuan; dan
d.mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat.
BAB II
LARANGAN DAN PEMBATASAN
Pasal 4
e.persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
f.kekerasan seksual;
g.masturbasi atau onani;
h.ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; atau
i.alat kelamin.
(2) Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang:
a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin;
c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau
d. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.
Pasal 5
Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
Pasal 6
Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh perundang-undangan.
Pasal 7
Setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
Pasal 8
Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi.
Pasal 9
Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi.
Pasal 10
Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.
Pasal 11
Setiap orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, atau Pasal 10.
Pasal 12
Setiap orang dilarang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi.
Pasal 13
(1) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memuat selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib mendasarkan pada peraturan perundang-undangan.
(2) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan di tempat dan dengan cara khusus.
Pasal 14
Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan materi seksualitas dapat dilakukan untuk kepentingan dan memiliki nilai:
a.seni dan budaya;
b.adat istiadat; dan
c.ritual tradisional.
Pasal 15
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perizinan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan produk pornografi untuk tujuan dan kepentingan pendidikan dan pelayanan kesehatan dan pelaksanaan ketentuan Pasal 13 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB III
PERLINDUNGAN ANAK
Pasal 16
Setiap orang berkewajiban melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap informasi pornografi.
Pasal 17
1) Pemerintah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat berkewajiban memberikan pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.
2) Ketentuan mengenai pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IV
PENCEGAHAN
Bagian Kesatu
Peran Pemerintah
Pasal 18
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.
Pasal 19
Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pemerintah berwenang:
a.melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet;
b.melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; dan
c.melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik dari dalam maupun dari luar negeri, dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.
Pasal 20
Untuk melakukan upaya pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pemerintah Daerah berwenang:
a.melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet di wilayahnya;
b.melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya;
c.melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya; dan
d.mengembangkan sistem komunikasi, informasi, dan edukasi dalam rangka pencegahan pornografi di wilayahnya.
Bagian Kedua
Peran Serta Masyarakat
Pasal 21
Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.
Pasal 22
(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dapat dilakukan dengan cara:
a.melaporkan pelanggaran Undang-Undang ini;
b.melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan;
c.melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pornografi; dan
d.melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan secara bertanggung jawab dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 23
Masyarakat yang melaporkan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a berhak mendapat perlindungan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
BAB V
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Pasal 24
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap pelanggaran pornografi dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Pasal 25
Di samping alat bukti sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, termasuk juga alat bukti dalam perkara tindak pidana meliputi tetapi tidak terbatas pada:
a.barang yang memuat tulisan atau gambar dalam bentuk cetakan atau bukan cetakan, baik elektronik, optik, atau bentuk penyimpanan data lainnya; dan
b.data yang tersimpan dalam jaringan internet dan saluran komunikasi lainnya.
Pasal 26
(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang membuka akses, memeriksa, dan membuat salinan data elektronik yang tersimpan dalam fail komputer, jaringan internet, media optik, serta bentuk penyimpanan data elektronik lainnya.
(2) Untuk kepentingan penyidikan, pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik berkewajiban menyerahkan dan/atau membuka data elektronik yang diminta penyidik.
(3) Pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik setelah menyerahkan dan/atau membuka data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berhak menerima tanda terima penyerahan atau berita acara pembukaan data elektronik dari penyidik.
Pasal 27
Penyidik membuat berita acara tentang tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan mengirim turunan berita acara tersebut kepada pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan komunikasi di tempat data tersebut didapatkan.
Pasal 28
(1) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa dilampirkan dalam berkas perkara.
(2) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa dapat dimusnahkan atau dihapus.
(3) Penyidik, penuntut umum, dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan sumpah jabatan, baik isi maupun informasi data elektronik yang dimusnahkan atau dihapus.
BAB VI
PEMUSNAHAN
Pasal 29
(1) Pemusnahan dilakukan terhadap produk pornografi hasil perampasan.
(2) Pemusnahan produk pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penuntut umum dengan membuat berita acara yang sekurang-kurangnya memuat:
a.nama media cetak dan/atau media elektronik yang menyebarluaskan pornografi;
b.nama, jenis, dan jumlah barang yang dimusnahkan;
c.hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan; dan
d.keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang yang dimusnahkan.
BAB VII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 30
Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebar-luaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Pasal 31
Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 32
Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 33
Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 34
Setiap orang yang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 35
Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 36
Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Pasal 37
Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 38
Setiap orang yang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai obyek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37, ditambah 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman pidananya.
Pasal 39
Setiap orang yang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 40
(1) Dalam hal tindak pidana pornografi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
(2) Tindak pidana pornografi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri maupun bersama-sama.
(3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.
(4) Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain.
(5) Hakim dapat memerintahkan pengurus korporasi agar pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.
(6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
(7) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan maksimum pidana dikalikan 3 (tiga) dari pidana denda yang ditentukan dalam setiap pasal dalam Bab ini.
Pasal 41
Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (7), korporasi dapat dikenakan pidana tambahan berupa:
a.pembekuan izin usaha;
b.pencabutan izin usaha;
c.perampasan kekayaan hasil tindak pidana; dan/atau
d.pencabutan status badan hukum.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 42
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan setiap orang yang memiliki atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus memusnahkan sendiri atau menyerahkan kepada pihak yang berwajib untuk dimusnahkan.
Pasal 43
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan tindak pidana pornografi dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
Pasal 44
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
PENJELASAN:
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "persenggamaan yang menyimpang" antara lain persenggamaan atau aktivitas seksual lainnya dengan mayat dan binatang, oral seks, anal seks, lesbian, homoseksual.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”kekerasan seksual” antara lain persenggamaan yang didahului dengan tindakan kekerasan (penganiayaan) atau mencabuli dengan paksaan, pemerkosaan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "mengesankan ketelanjangan" adalah penampakan tubuh dengan menunjukkan ketelanjangan yang menggunakan penutup tubuh yang tembus pandang.
Pasal 5
Yang dimaksud dengan "mengunduh" adalah mengalihkan atau mengambil fail (file) dari sistem teknologi informasi dan komunikasi.
Pasal 6
Yang dimaksud dengan "yang diberi kewenangan oleh perundang-undangan" misalnya lembaga yang diberi kewenangan menyensor film, lembaga yang mengawasi penyiaran, lembaga penegak hukum, lembaga pelayanan kesehatan atau terapi kesehatan seksual, dan lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan tersebut termasuk pula perpustakaan, laboratorium, dan sarana pendidikan lainnya.
Kegiatan memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan barang pornografi dalam ketentuan ini hanya dapat digunakan di tempat atau lokasi yang disediakan untuk tujuan lembaga dimaksud.
Pasal 10
Yang dimaksud dengan "mempertontonkan diri" adalah perbuatan yang dilakukan atas inisiatif dirinya atau inisiatif orang lain dengan kemauan dan persetujuan dirinya. Yang dimaksud dengan "pornografi lainnya" antara lain kekerasan seksual, masturbasi atau onani.
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pembuatan" termasuk memproduksi, membuat, memperbanyak, atau menggandakan.
Yang dimaksud dengan "penyebarluasan" termasuk menyebarluaskan, menyiarkan, mengunduh, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, meminjamkan, atau menyediakan.
Yang dimaksud dengan "penggunaan" termasuk memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki atau menyimpan.
Frasa "selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)" dalam ketentuan ini misalnya majalah yang memuat model berpakaian bikini, baju renang, pakaian olahraga pantai, yang digunakan sesuai dengan konteksnya.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "di tempat dan dengan cara khusus" misalnya penempatan yang tidak dapat dijangkau oleh anak-anak atau pengemasan yang tidak menampilkan atau menggambarkan pornografi.
Pasal 14
Yang dimaksud dengan "materi seksualitas" adalah materi yang tidak mengandung unsur yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau tidak melanggar kesusilaan dalam masyarakat, misalnya patung telanjang yang menggambarkan lingga dan yoni.
Pasal 16
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah sedini mungkin pengaruh pornografi terhadap anak dan ketentuan ini menegaskan kembali terkait dengan perlindungan terhadap anak yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.
Pasal 19
Huruf a
Yang dimaksud dengan "pemblokiran pornografi melalui internet" adalah pemblokiran barang pornografi atau penyediaan jasa pornografi.
Pasal 20
Huruf a
Yang dimaksud dengan "pemblokiran pornografi melalui internet" adalah pemblokiran barang pornografi atau penyediaan jasa pornografi.
Langganan:
Postingan (Atom)