Gereja di Zaman Absolutisme(Ancient Régime)
Situasi Gereja pada zaman absolutisme (abad XVI-XVIII) :
Gereja mendominasi lingkungan, struktur sosial, undang-undang, dan adat kebiasaan masyarakat. Tatanan masyarakat diinspirasikan oleh Gereja.
Hal itu dapat dijelaskan dengan adanya kontrol negara terhadap Gereja (negara tidak mau diutak-atik bentuk masyarakat yang tidak diinspirasikan oleh Gereja).
Gereja sendiri mengalami ‘dekadensi’ karena semangat keduniawian yang dimiliki oleh para klerus.
Absolutisme sendiri memiliki ciri-ciri umum:
1. Secara politis
Sikap penguasa: menyatakan diri bebas dan luput dari otoritas lain (di luar kekuasaannya) dan membuat sentralisasi kekuasaan terhadap pihak di dalam kekuasaannya. Raja yang berkuasa menentukan segala-galanya tanpa kritik dan kontrol.
2. Secara sosial
Ada kesenjangan dalam kelompok masyarakat. Previlegi terhadap kelompok-kelompok masyarakat tertentu membedakan golongan bangsawan, militer, dan rakyat biasa.
Dalam keadaan yang demikian, Gereja, yang memiliki previlegi juga, ‘kemunculan’ absolutisme karena prinsipnya untuk menyejajarkan secara sempurna tata politik bernegara dengan tata religius Kristen: Yang diatur Gereja itulah yang harus diterapkan dalam tata sipil (dengan pengecualian yang sangat langka). Keadaan ini memiliki implikasi:
1. Hak ilahi raja
Absolutisme mengambil dasar teoritis kekuasaannya dari reduksi otoritas keagamaan ke dalam kekuasaan sipil. Raja memiliki kewenangan sebagai wakil Allah; kekuasaannya langsung diberikan dari Tuhan. Rakyat hanya dituntut untuk menjadi taat secara buta kepada raja karena raja memiliki martabat yang transenden, yang lebih penting daripada hidup warga negaranya sendiri.
2. Kesatuan politis didasarkan pada kesatuan agama.
Situasi keragaman agama dalam negara tidak lagi dimungkinkan. Mereka yang tidak memeluk agama yang dominan akan mengalami penyempitan dalam pemenuhan hak politik dan sipilnya.
3. Agama Katolik adalah agama negara.
Dominasi agama Katoliklah yang akhirnya dilegitimasi sebagai agama satu-satunya yang benar. Gereja dinyatakan sebagai masyarakat berdaulat meskipun ada batas-batas tertentu. Hal ini mencampuradukkan kepentingan agama dan negara sehingga tahta dan altar saling berhubungan.
4. Karena kesatuan itu, raja menganggap agama harus dipertahankan dan dimajukan.
Penguasa berusaha menciptakan dan mempertahankan struktur yang mendukung warga untuk melakukan kewajiban agama; membela agama sambil menghalangi proselitisme bidaah; tindakan melawan agama dianggap menghina kekayaan spiritual bangsa, melawan raja, wakil Tuhan.
5. Hukum sipil menjadi selaras dengan hukum kanonik.
Negara mengakui hukum Gereja dan memungutnya sebagai hukum negara (perkawinan misalnya).
6. Gereja menggunakan kekuatan negara.
Tugas hirarki untuk menjaga keutuhan iman dan moral dilakukan dengan menggunakan kekuatan otoritas dan sarana yang diberikan negara. Negara menjadi ‘polisi’ khusus bagi Gereja.
7. Organisasi kerja Kristen.
Para pekerja diwajibkan membentuk koorporasi untuk menjamin tata hidup sesuai dengan religiositas Kristen.
8. Monopoli karya dan instruksi Gereja diakui.
Sampai abad XVIII pendidikan hanya ditangani oleh tarekat dan biara-biara.
9. Imunitas dan problem relatif.
Gereja menikmati imunitas (imunitas real–bebas pajak; imunitas lokal–menjadi tempat berlindung; imunitas pribadi–klerus bebas wamil); luput dari undang-undang yang berlaku pada umumnya. Imunitas ini menimbulkan masalah sterilitas para klerus. Previlegi yang diterima Gereja justru membuat jurang antara Gereja dan negara. Jurang itu sendiri muncul karena keras kepalanya PAUS PAULUS V untuk mempertahankan kekuasaannya di Eropa tanpa menyesuaikan diri dengan situasi dan tuntutan yang baru, kelahiran negara-negara baru dan kedaulatan mereka.
Yurisdiksionalisme
Prinsip Dasariah dan Pelaksanaannya
Dari implikasi-implikasi itu dapat dilihat bahwa negara yang memberikan dukungan kepada Gereja, pada akhirnya memasukkan kontrol ketatnya dalam intervensi dalam Gereja. Dukungan negara berlangsung selama abad XVII, sementara subordinasi Gereja terjadi pada abad XVIII. Ada beberapa hak negara yang berkaitan dengan Gereja yang penting:
1. Ius advocationis et protectionis
hak menjamin Gereja (bersih dari heresi dan skisma)
2. Ius reformandi
hak bangsawan membenahi organisasi dan aktivitas kegerejaan
3. Ius inspiciendi atau ius supremae inspectionis
Negara membatasi kebebasan dalam hubungan entitas lokal gereja dan tahta suci, memeriksa, mengawasi aktivitas kegerejaan.
4. Ius nominandi
hak negara untuk menominasi uskup, abbas dan fungsionaris Gereja
5. Ius exclusivae
hak yang berkuasa untuk mengecualikan orang yang tidak layak dari tugas yang telah ditentukan
6. Ius placeti et exequatur
Hak-hak ini menekan tindakan Gereja supaya ternyata Gereja tidak melawan otoritas negara. Penguasa tidak melepaskannya dan Roma dipaksa menerima kenyataan itu.
7. Ius circa temporalia officii
Dengan ini negara memiliki kuasa untuk menyita harta klerus jika tidak setia pada monarki (lebih setia pada Paus).
8. Ius appelationis
Dengan ini imam atau jemaat dapat meminta bantuan negara untuk melawan otoritas kegerejaan.
9. Ius dominii eminentis
Hak negara menarik pajak atas harta Gereja dan mengadministrasikannya selama sedes vacante
10.Ius patronatus
hak negara dan juga beberapa keluarga untuk menominasi abbas, rektor-rektor gereja dan rumah-rumah biara sebagai pelindung
Gereja yang Dibebani Infiltrasi Duniawi
Ada beberapa aspek POSITIF yang dimunculkan oleh previlegi Gereja dan Yurisdiksionalisme negara:
1. Khususnya di Italia, berkembang dengan subur adorasi pada Sakramen Mahakudus (bahkan sepanjang minggu); yang lebih umum: devosi kepada Maria (bulan Mei dan Oktober).
2. Muncul tokoh-tokoh para kudus (AVILLA, YOHANES dari SALIB, PAULUS dari SALIB, dll).
3. Berkembang lembaga-lembaga hidup bakti yang baru (indikasi kesuburan Gereja).
4. Muncul juga tokoh-tokoh seniman Kristiani (LOPEZ DE VEGA, CALDERON DE LA BARCA, PALESTRINA, dll).
5. Devosi kepada Hati Kudus Yesus berkembang dengan semangat baru (ALACOQUE, CLAUDIUS DE LA COLOMBIÈRE).
6. Gereja menjadi poros yang menjiwai kehidupan sehari-hari. Muncul pengkotbah ulung (BOURDALOUE, FENELON, BALDINUCCI, PAULUS dari SALIB, ALFONSUS DE LIGOURI, dll).
Aspek negatifnya:
1. Masyarakat terbagi dalam dua kasta: minoritas yang berprevilegi (khususnya sejak abad XVIII diiringi dengan hidup amoral) dan mayoritas yang miskin dan sengsara.
2. Gereja yang dibebani harta, tumpul dalam mengemban misi spiritualnya (karena beberapa pihak berprivilegi).
3. Gereja cenderung menerapkan otoritasnya dalam mengatur banyak bidang kehidupan jemaat (misalnya kartu kontrol peribadatan – sanksi, kasus Galileo).
4. Muncul ‘religiositas populer’ (kuantitas massa yang hadir dalam perayaan sakramen tertentu tidak diimbangi dengan ungkapan kedalaman makna, tetapi artifisial dan superfisial).
Revolusi Perancis
Revolusi ini de facto telah menghancurkan sebagian besar struktur ekonomi-politik-sosial ancient régime. Revolusi ini juga telah menebarkan dasar-dasar masyarakat yang baru. Masyarakat ini telah berusaha mewujudkan prinsip-prinsip ideal tetapi ternyata pelaksanaannya (abad XVIII) berjalan sangat lambat. Previlegi diganti dengan kesamaan. Otoritas mutlak penguasa disingkirkan dan diganti dengan kedaulatan rakyat dan kebebasan.
Aspek-aspek POSITIF Revolusi Perancis dapat dilihat dari prinsip-prinsip yang dicetuskan pada 4 Agustus 1789 (yang didahului oleh deklarasi Revolusi Amerika 4 Juli 1776):
1. Prinsip kesamaan dan kesetaraan (egalité)
Sebelum 4 Agustus 1789 Dewan Legislatif telah membuat dekrit tentang dicabutnya hak-hak serta previlegi-previlegi feodalistis yang dinikmati bangsawan. Prinsip kesamaan ini beraplikasi luas: pajak ditiadakan karena dimanfaatkan bangsawan, diskriminasi sosial diakhiri, kebangsawanan tidak diakui, imunitas klerus juga ditiadakan; praktik administrasi juga didasarkan pada prinsip kesamaan, pengadilan lokal yang otonom dihapus, diganti dengan tiga instansi yang berafiliasi pada kekuasaan pusat–kelak disempurnakan oleh NAPOLEON.
2. Prinsip kebebasan
Artikel 4 Deklarasi tahun 1789 memberikan batasan kebebasan: kekuasaan/kemampuan untuk melakukan segala sesuatu yang tidak merugikan orang lain. Kebebasan hanya memiliki satu keterbatasan: hormat pada kebebasan yang sama yang dimiliki oleh orang lain. Prinsip ini berlaku dalam bidang politik; hak ilahi raja diganti dengan kedaulatan rakyat. Dari prinsip ini lahirlah kesadaran rakyat sebagai warga negara. “Demi rahmat Allah” diganti menjadi “Demi kehendak bangsa”. Raja itu memerintah, tidak memimpin. Secara perlahan terjadi peralihan dari monarki konstitusional ke monarki parlementer (mentri bertanggungjawab pada parlemen yang dipercaya oleh wakil rakyat). Deklarasi ini juga memberi jaminan kepada rakyat untuk mempertahankan diri di hadapan penilaian eksekutif (art. 7); mengakui kebebasan berpendapat dan kebebasan pers (art. 10 dan 11), juga kebebasan beragama (art. 10).
Aspek-aspek negatif Revolusi Perancis dapat dimengerti sebagai bentuk ketidakseimbangan perjuangan. Revolusi yang berusaha menghancurkan suatu regim berprevilegi tidak selalu berhasil menghormati aspek-aspek lain. Para pemrakarsa deklarasi melupakan sejumlah hambatan tata ekonomi dan sosial yang membelenggu kesamaan dan kebebasan warga negara. Hambatan-hambatan itu mengebiri perkembangan pribagi manusia yang utuh.
1. Dari prinsip kesamaan berkembanglah individualisme
Untuk mempertahankan kesamaan dan kebebasan setiap warga, negara menghapus asosiasi profesional. LE CHAPELIER, seorang wakil rakyat, menegaskan bahwa saat itu setiap warga negara mengurus dirinya sendiri. Korporasi ditiadakan; perlindungan bagi kaum lemah belum dipikirkan.
2. Mitos kesamaan dan kebebasan tidak hanya merugikan kelompok lemah, tetapi juga membuat otoritas negara menghadapi krisis baru (laikalisme, sekularisme yang menjurus ke antiklerikalisme).
3. Terjadi konflik terbuka antara masyarakat ancient régime dan masyarakat liberal.
Kelompok ancient régime mengacu pada kekristenan, nilai-nilai injili; kelompok liberal mempertahankan nilai-nilai otentik, yang mau mengerti lebih baik martabat manusia, tetapi sekaligus melahirkan krisis (liberalisme).
4. Kekayaan dan kekuasaan temporal yang dimiliki Gereja hilang (pengaruh sampai ke Jerman yang menerapkan politik sekularisasi, 1803-1804). Berkat revolusi ini Gereja dieksklusikan dari kekuasaan politik.
Penelanjangan kekuasaan politik Gereja memang menimbulkan kerugian, tetapi apakah memang sungguh-sungguh kerugian atau justru blessing in disguise?
Situasi Gereja pada zaman absolutisme (abad XVI-XVIII) :
Gereja mendominasi lingkungan, struktur sosial, undang-undang, dan adat kebiasaan masyarakat. Tatanan masyarakat diinspirasikan oleh Gereja.
Hal itu dapat dijelaskan dengan adanya kontrol negara terhadap Gereja (negara tidak mau diutak-atik bentuk masyarakat yang tidak diinspirasikan oleh Gereja).
Gereja sendiri mengalami ‘dekadensi’ karena semangat keduniawian yang dimiliki oleh para klerus.
Absolutisme sendiri memiliki ciri-ciri umum:
1. Secara politis
Sikap penguasa: menyatakan diri bebas dan luput dari otoritas lain (di luar kekuasaannya) dan membuat sentralisasi kekuasaan terhadap pihak di dalam kekuasaannya. Raja yang berkuasa menentukan segala-galanya tanpa kritik dan kontrol.
2. Secara sosial
Ada kesenjangan dalam kelompok masyarakat. Previlegi terhadap kelompok-kelompok masyarakat tertentu membedakan golongan bangsawan, militer, dan rakyat biasa.
Dalam keadaan yang demikian, Gereja, yang memiliki previlegi juga, ‘kemunculan’ absolutisme karena prinsipnya untuk menyejajarkan secara sempurna tata politik bernegara dengan tata religius Kristen: Yang diatur Gereja itulah yang harus diterapkan dalam tata sipil (dengan pengecualian yang sangat langka). Keadaan ini memiliki implikasi:
1. Hak ilahi raja
Absolutisme mengambil dasar teoritis kekuasaannya dari reduksi otoritas keagamaan ke dalam kekuasaan sipil. Raja memiliki kewenangan sebagai wakil Allah; kekuasaannya langsung diberikan dari Tuhan. Rakyat hanya dituntut untuk menjadi taat secara buta kepada raja karena raja memiliki martabat yang transenden, yang lebih penting daripada hidup warga negaranya sendiri.
2. Kesatuan politis didasarkan pada kesatuan agama.
Situasi keragaman agama dalam negara tidak lagi dimungkinkan. Mereka yang tidak memeluk agama yang dominan akan mengalami penyempitan dalam pemenuhan hak politik dan sipilnya.
3. Agama Katolik adalah agama negara.
Dominasi agama Katoliklah yang akhirnya dilegitimasi sebagai agama satu-satunya yang benar. Gereja dinyatakan sebagai masyarakat berdaulat meskipun ada batas-batas tertentu. Hal ini mencampuradukkan kepentingan agama dan negara sehingga tahta dan altar saling berhubungan.
4. Karena kesatuan itu, raja menganggap agama harus dipertahankan dan dimajukan.
Penguasa berusaha menciptakan dan mempertahankan struktur yang mendukung warga untuk melakukan kewajiban agama; membela agama sambil menghalangi proselitisme bidaah; tindakan melawan agama dianggap menghina kekayaan spiritual bangsa, melawan raja, wakil Tuhan.
5. Hukum sipil menjadi selaras dengan hukum kanonik.
Negara mengakui hukum Gereja dan memungutnya sebagai hukum negara (perkawinan misalnya).
6. Gereja menggunakan kekuatan negara.
Tugas hirarki untuk menjaga keutuhan iman dan moral dilakukan dengan menggunakan kekuatan otoritas dan sarana yang diberikan negara. Negara menjadi ‘polisi’ khusus bagi Gereja.
7. Organisasi kerja Kristen.
Para pekerja diwajibkan membentuk koorporasi untuk menjamin tata hidup sesuai dengan religiositas Kristen.
8. Monopoli karya dan instruksi Gereja diakui.
Sampai abad XVIII pendidikan hanya ditangani oleh tarekat dan biara-biara.
9. Imunitas dan problem relatif.
Gereja menikmati imunitas (imunitas real–bebas pajak; imunitas lokal–menjadi tempat berlindung; imunitas pribadi–klerus bebas wamil); luput dari undang-undang yang berlaku pada umumnya. Imunitas ini menimbulkan masalah sterilitas para klerus. Previlegi yang diterima Gereja justru membuat jurang antara Gereja dan negara. Jurang itu sendiri muncul karena keras kepalanya PAUS PAULUS V untuk mempertahankan kekuasaannya di Eropa tanpa menyesuaikan diri dengan situasi dan tuntutan yang baru, kelahiran negara-negara baru dan kedaulatan mereka.
Yurisdiksionalisme
Prinsip Dasariah dan Pelaksanaannya
Dari implikasi-implikasi itu dapat dilihat bahwa negara yang memberikan dukungan kepada Gereja, pada akhirnya memasukkan kontrol ketatnya dalam intervensi dalam Gereja. Dukungan negara berlangsung selama abad XVII, sementara subordinasi Gereja terjadi pada abad XVIII. Ada beberapa hak negara yang berkaitan dengan Gereja yang penting:
1. Ius advocationis et protectionis
hak menjamin Gereja (bersih dari heresi dan skisma)
2. Ius reformandi
hak bangsawan membenahi organisasi dan aktivitas kegerejaan
3. Ius inspiciendi atau ius supremae inspectionis
Negara membatasi kebebasan dalam hubungan entitas lokal gereja dan tahta suci, memeriksa, mengawasi aktivitas kegerejaan.
4. Ius nominandi
hak negara untuk menominasi uskup, abbas dan fungsionaris Gereja
5. Ius exclusivae
hak yang berkuasa untuk mengecualikan orang yang tidak layak dari tugas yang telah ditentukan
6. Ius placeti et exequatur
Hak-hak ini menekan tindakan Gereja supaya ternyata Gereja tidak melawan otoritas negara. Penguasa tidak melepaskannya dan Roma dipaksa menerima kenyataan itu.
7. Ius circa temporalia officii
Dengan ini negara memiliki kuasa untuk menyita harta klerus jika tidak setia pada monarki (lebih setia pada Paus).
8. Ius appelationis
Dengan ini imam atau jemaat dapat meminta bantuan negara untuk melawan otoritas kegerejaan.
9. Ius dominii eminentis
Hak negara menarik pajak atas harta Gereja dan mengadministrasikannya selama sedes vacante
10.Ius patronatus
hak negara dan juga beberapa keluarga untuk menominasi abbas, rektor-rektor gereja dan rumah-rumah biara sebagai pelindung
Gereja yang Dibebani Infiltrasi Duniawi
Ada beberapa aspek POSITIF yang dimunculkan oleh previlegi Gereja dan Yurisdiksionalisme negara:
1. Khususnya di Italia, berkembang dengan subur adorasi pada Sakramen Mahakudus (bahkan sepanjang minggu); yang lebih umum: devosi kepada Maria (bulan Mei dan Oktober).
2. Muncul tokoh-tokoh para kudus (AVILLA, YOHANES dari SALIB, PAULUS dari SALIB, dll).
3. Berkembang lembaga-lembaga hidup bakti yang baru (indikasi kesuburan Gereja).
4. Muncul juga tokoh-tokoh seniman Kristiani (LOPEZ DE VEGA, CALDERON DE LA BARCA, PALESTRINA, dll).
5. Devosi kepada Hati Kudus Yesus berkembang dengan semangat baru (ALACOQUE, CLAUDIUS DE LA COLOMBIÈRE).
6. Gereja menjadi poros yang menjiwai kehidupan sehari-hari. Muncul pengkotbah ulung (BOURDALOUE, FENELON, BALDINUCCI, PAULUS dari SALIB, ALFONSUS DE LIGOURI, dll).
Aspek negatifnya:
1. Masyarakat terbagi dalam dua kasta: minoritas yang berprevilegi (khususnya sejak abad XVIII diiringi dengan hidup amoral) dan mayoritas yang miskin dan sengsara.
2. Gereja yang dibebani harta, tumpul dalam mengemban misi spiritualnya (karena beberapa pihak berprivilegi).
3. Gereja cenderung menerapkan otoritasnya dalam mengatur banyak bidang kehidupan jemaat (misalnya kartu kontrol peribadatan – sanksi, kasus Galileo).
4. Muncul ‘religiositas populer’ (kuantitas massa yang hadir dalam perayaan sakramen tertentu tidak diimbangi dengan ungkapan kedalaman makna, tetapi artifisial dan superfisial).
Revolusi Perancis
Revolusi ini de facto telah menghancurkan sebagian besar struktur ekonomi-politik-sosial ancient régime. Revolusi ini juga telah menebarkan dasar-dasar masyarakat yang baru. Masyarakat ini telah berusaha mewujudkan prinsip-prinsip ideal tetapi ternyata pelaksanaannya (abad XVIII) berjalan sangat lambat. Previlegi diganti dengan kesamaan. Otoritas mutlak penguasa disingkirkan dan diganti dengan kedaulatan rakyat dan kebebasan.
Aspek-aspek POSITIF Revolusi Perancis dapat dilihat dari prinsip-prinsip yang dicetuskan pada 4 Agustus 1789 (yang didahului oleh deklarasi Revolusi Amerika 4 Juli 1776):
1. Prinsip kesamaan dan kesetaraan (egalité)
Sebelum 4 Agustus 1789 Dewan Legislatif telah membuat dekrit tentang dicabutnya hak-hak serta previlegi-previlegi feodalistis yang dinikmati bangsawan. Prinsip kesamaan ini beraplikasi luas: pajak ditiadakan karena dimanfaatkan bangsawan, diskriminasi sosial diakhiri, kebangsawanan tidak diakui, imunitas klerus juga ditiadakan; praktik administrasi juga didasarkan pada prinsip kesamaan, pengadilan lokal yang otonom dihapus, diganti dengan tiga instansi yang berafiliasi pada kekuasaan pusat–kelak disempurnakan oleh NAPOLEON.
2. Prinsip kebebasan
Artikel 4 Deklarasi tahun 1789 memberikan batasan kebebasan: kekuasaan/kemampuan untuk melakukan segala sesuatu yang tidak merugikan orang lain. Kebebasan hanya memiliki satu keterbatasan: hormat pada kebebasan yang sama yang dimiliki oleh orang lain. Prinsip ini berlaku dalam bidang politik; hak ilahi raja diganti dengan kedaulatan rakyat. Dari prinsip ini lahirlah kesadaran rakyat sebagai warga negara. “Demi rahmat Allah” diganti menjadi “Demi kehendak bangsa”. Raja itu memerintah, tidak memimpin. Secara perlahan terjadi peralihan dari monarki konstitusional ke monarki parlementer (mentri bertanggungjawab pada parlemen yang dipercaya oleh wakil rakyat). Deklarasi ini juga memberi jaminan kepada rakyat untuk mempertahankan diri di hadapan penilaian eksekutif (art. 7); mengakui kebebasan berpendapat dan kebebasan pers (art. 10 dan 11), juga kebebasan beragama (art. 10).
Aspek-aspek negatif Revolusi Perancis dapat dimengerti sebagai bentuk ketidakseimbangan perjuangan. Revolusi yang berusaha menghancurkan suatu regim berprevilegi tidak selalu berhasil menghormati aspek-aspek lain. Para pemrakarsa deklarasi melupakan sejumlah hambatan tata ekonomi dan sosial yang membelenggu kesamaan dan kebebasan warga negara. Hambatan-hambatan itu mengebiri perkembangan pribagi manusia yang utuh.
1. Dari prinsip kesamaan berkembanglah individualisme
Untuk mempertahankan kesamaan dan kebebasan setiap warga, negara menghapus asosiasi profesional. LE CHAPELIER, seorang wakil rakyat, menegaskan bahwa saat itu setiap warga negara mengurus dirinya sendiri. Korporasi ditiadakan; perlindungan bagi kaum lemah belum dipikirkan.
2. Mitos kesamaan dan kebebasan tidak hanya merugikan kelompok lemah, tetapi juga membuat otoritas negara menghadapi krisis baru (laikalisme, sekularisme yang menjurus ke antiklerikalisme).
3. Terjadi konflik terbuka antara masyarakat ancient régime dan masyarakat liberal.
Kelompok ancient régime mengacu pada kekristenan, nilai-nilai injili; kelompok liberal mempertahankan nilai-nilai otentik, yang mau mengerti lebih baik martabat manusia, tetapi sekaligus melahirkan krisis (liberalisme).
4. Kekayaan dan kekuasaan temporal yang dimiliki Gereja hilang (pengaruh sampai ke Jerman yang menerapkan politik sekularisasi, 1803-1804). Berkat revolusi ini Gereja dieksklusikan dari kekuasaan politik.
Penelanjangan kekuasaan politik Gereja memang menimbulkan kerugian, tetapi apakah memang sungguh-sungguh kerugian atau justru blessing in disguise?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar